Mengenai Saya

Mahluk asing yang di trasmigrasikan dari surga. Dan di selundupkan ke bumi melalui rahim ibu. Terlahir dari kolaborasi cinta, sinergi kasih sayang. Dan tumbuh menjadi pelaku pelecehan media sosial. Aku tidak pandai, tidak juga tampan, kebetulan saja Tuhan menyelundupkanku melalui rahim ibu. Dan di transmigrasikan ke bumi ini sebagai alat Tuhan. Sebagai alat agar sistem pentakdiran terus berjalan.

Selasa, 08 Oktober 2019

Tuhan Bermain Dadu

Aku sadar, bahwa hati tidak bisa di ambil paksa, sesuka hatimu saja, sebab memaksa hanya akan membuihkan luka, jikalaupun engkau berkenan, tidak ada yang perlu lagi di persoalkan, tentang retorika rasa atau dealektika kata-kata sebagai komunikasi efektif untuk tubuh, bagaimanapun juga yang bisa mengubahmu hanya dirimu, tidak ada yang lain sebab dirimu adalah milikmu, sebagaimana itu juga adalah hak personalytimu, yang tidak bisa di ganggu gugat oleh kehendak siapapun.

Sebab kehendak orang lain hanya membuat pengaruh, tidak akan mampu mengusai dirimu, tentang apa yang semestinya engkau lakukan, seutuhnya adalah keputusan yang engkau ambil sendiri, engkau bisa menolak atau menerima kembali pada dirimu, jikalaupun engkau menolak adalah kepastian mutlak, ataupun menerima adalah keputusan berharga, senantiasa dari keduanya memiliki harga masing-masing, bisa di tawar dalam konstitusi hati yang gundah.

Di mana konstitusi hati yang gundah, adalah termasuk kegiatan praktis dalam keseharian manusia, tidak ada yang bisa luput tentang itu, sebagaimanapun manusianya akan merasakan dampak yang sama, jikalaupun mendapatkan dampak yang berbeda, itu hanya soal selera dan cara berpikirnya saja, seiring ada yang melanjutkan ada juga yang memberhentikan, seiring ada yang menumbuhkan ada juga yang mematikan, dan seiring ada yang tidak memperdulikan ada juga yang terus memikirkan.

Reaksionis apapun yang di peroleh oleh tubuh, entah pendapatan rasa rapuh atau sebaliknya pendapatan rasa tumbuh, kembali pada personalitynya, sebab tubuh memiliki seribu kemungkinan dalam menentukan, karenanya rasa harus bisa senantiasa ikut andil di dalamnya, agar tidak ada ketimpangan introvet bagi tubuh yang hendak bersosialisasi, seiring itu kalkulasi logika perlu di lakukan, di mana study kualitatif bukan di ambil hanya ingin tahu, setelah tahu berubah tempe dan beralih kembali ke kedelai.

Dan aku tidak berusaha mencuri hatimu dari dirimu, sebab dirimu adalah hak milikmu, sedangkan mencuri sendiri adalah pantangan sakral yang di haramkan, dalam agama apapun dan Tuhannya siapapun, jikalaupun tiada lagi jalan lain ke hatimu, cukup tidak perlu mencari jalan lagi, sebab telah banyak jalan yang kulalui, dan bisa kutembus dengan hati, kecuali jalan menujumu, dan apapun yang terjadi, tak akan rapuh terkena sindir manis bibir, dan sinis legit matamu, di mana aku hanya menyelamatkan diri dari kehancuran yang tak memberikan akhir.

Aku hanya ingin bisa berdamai dengan diriku sendiri, tanpa ada lagi kebencian yang bersembunyi, tanpa ada dendam yang bersemayam lagi, di mana penggantimu adalah kebebasan yang harus bisa kubeli dengan kesungguhan hati, sebab roda waktu terus berputar tanpa henti, tidak pernah peduli tentang sedan sedu, tentang sepasang mata yang meratap tangis, tentang bumi yang kemarau atau di guyur gerimis, tentang pisau-pisau di dapur yang terbiarkan tidur, atau lonceng gereja yang berhenti memanggil jamaatnya, tentang huru hara di mana-mana, atau kesenangan yang melupakan segalanya.

Di mana dunia ini hanya ilustrasi yang terkondisikan oleh Tuhan, di mana aturan telah menjadi kesepakatan tinggal, seiring itu manusia terus bermunculan dari rahim, tanpa ada akhiran yang menentukan, kecuali sebuah pertemuan sederhana yang tak terlupakan, gedung-gedung menjulang tinggi, rumput menghampar di lapangan harmoni, langit membiru dengan benderang, matahari menyilaukan pandangan, gelap menjadi ancaman, musim tak menentu, cuaca yang berubah-ubah, kambing yang berjalan di tepi sungai, mangga yang matang di pohonnya, pintu yang terbuka dengan seksama, angka-angka yang tak pernah memberi kepuasan batin.

Terus menerus seperti tukang parkir yang menunjuk jari, hingga tawa yang menggeliat keras sekali, seperti telah melihat semua sisi, setelah di telisik kembali, pasti ada sisi lain yang belum terlihat dan masih tersembunyi, sangat dalam dan tenggelam oleh mewahnya peradaban, problematik mulai kembali ke permukaan, menjelma terik matahari yang memanggang hati, setelahnya berganti guntur yang sekejab menyambar, lalu gunung-gunung berterbangan seperti kapas, awan gelap mulai berdiri unjuk gigi, akhirnya di ranjang sepi  berbaring sendiri.

Daun-daun tak bisa bertahan di sepanjang musim, di mana malam menyuguhkan kejutan dingin yang tak terduga, sedangkan singa masih menjabat sebagai raja hutan, raungannya membelah bumi, menjatuhkan hujan dari langit, menghantam batas keraguan, dag dig dug jantung berdetak lebih kencang dari biasanya, masih dalam takaran yang sama, dan ukuran masih menjadi rival yang sangat signifikan, antara air, tanah, akar, pohon, ranting dan daun, sebab tumbuh di waktu yang tidak sama, lalu jatuh dalam tempo tanpa kepastian, seorang yang di atas, harusnya menemukan cara jatuh yang benar, dan tidak tersungkur dari ketinggian.

Di mana ada yang tersungkur lalu rasanya terbunuh, ada juga yang jatuh berkali-kali membuat rasanya semakin tumbuh, dunia hanya panggung berseni, kita hanya penghibur, dan kita di tugaskan Tuhan untuk menghibur, "Bagaimana bisa menjadi penghibur yang baik?" Tetap mengaktualkan diri dengan terus berlatih, sebab latihan adalah tempat kita melakukan kesalahan, sekaligus tempat kita menemukan pendewasaan, sehingga tidak di cap sebai maniak yang menjemukan, seperti teroris atau malah fasis yang menggunakan rasanya berlebihan, melebihi batas aturan dan melampaui batas ukuran.

Di mana konotasi negatif tidak sampai menjadi koneksi yang menghancurkan tubuh, terutama pikiran positif yang senantiasa ingin tumbuh, meskipun jalan menuju pendewasaan tidak mudah, tapi bukan berarti tidak bisa sampai, sebab alasan yang tidak mengarah pada fakta yang sebenarnya, hanya akan menjadi garam yang di sebar kembali ke laut, tidak luput bahwa maut yang senantiasa melirik sinis, memperlihatkan senyumnya yang sadis, dan suaranya yang membisik berkali-kali di hati, bahkan langkah kakinya serasa semakin dekat, seiring umur memutih di rambut.

Atau malah umur masih setajam pandangan, tidak menutup kemungkinan bisa terhindar dari maut, jikalaupun sudah saatnya harus terjemput, apa yang menjadi pertimbangan dunia tidak lagi relevan, sebab dunia hanya relief sebuah energi besar yang keberadaannya di percaya, meskipun rendang masih nendang, kopi masih menagihkan, perempuan masih menjadi keistimewaan, eskrim masih memberi kenikmatan, durian masih di inginkan, mendoan masih memiliki keharuman, sate kambing masih di inginkan, masih ingin memandangi puncak pegunungan, masih ingin berdandan, masih ingin melihat matahari, masih ingin melihat keelokan aliran irigrasi, dan masih ingin tak di segerakan.

Engkaupun tahu, "Tuhan berfirman bahwa manusia adalah mahluk yang suka menganiaya dan bodoh," dan itulah kebodohanku: "Aku yang telah melupakanmu." Maafkan aku yang membuatmu harus membenci keberadaanku dan menciptakan dosa teruntukmu." Atau sebaliknya aku adalah dosa itu sendiri, sebab akupun tak tahu apa itu dosa, hanya saja dengan mendengarkan dan membaca dosa itu nampak nyata, apalagi jika pikiran di rasuki imajinasi, dosa itu nampak hidup, begitu enaknya jadi dosa, kerjaannya hanya membuat takut, satu pekerjaan yang menentukan seluruh manusia.

Dimana dosa sudah seperti penguasa diktaktor, di manapun keberadaannya menjadi suatu teror, sebab semua manusia takut atas keberadaannya, tidak berhenti sampai di situ saja, siapa yang mendengar namanyapun juga ikut takut, sungguh begitu luar biasa pengaruh dan ketenarannya, hampir juga serupa penyair, mampu mengambil hati dengan sangat hati-hati, atau malah sebaliknya tanpa hati, bagaimanapun juga semua adalah program ilahiah, program yang hadir untuk memberi arah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar