"Bagaimana bisa mereka saling berebut?"
"Bagaimana bisa mereka saling ribut?"
Bahkan sampai mentakfirismekan satu sama lain.
Sedangkan yang di perebutkan dan di ributkan, bukanlah milik mereka,
Islam, Nasrani dan Yahudi saling berebut satu sama lain, saling meributkan satu sama lain, sedangkan apa yang mereka rebutkan bukanlah milik mereka, sungguh ajaib, saling berebut yang bukan haknya, bukankah mengambil yang bukan haknya itu haram hukumnya, apalagi sampai menumpahkan darah.
Sungguh ironis penganut kepercayaan di hari ini, di mana satu sama lain merasa paling berhak, merasa paling layak, merasa paling benar, merasa paling pantas, merasa paling unggul dan merasa paling suci, jika saja penganut kepercayaan itu mampu menekan egonya, maka akan sampai pada pemahaman bahwa iman itu indah, sebab bersahaja, sederhana dan tidak berlebih-lebihan.
Bukan hanya beda agama, melainkan seagama sendiri mengalami determinisme kepercayaan, di mana agama yang telah terpecah menjadi beberapa golongan, dan ada yang lebih bahaya dari minum-minuman keras, yaitu mabuk agama dan kekuasaan. Sebagaimana orang-orang musrik, fasik, munafik, kapitalis, oportunis, hedonis, nepotis, dan kolonialis. Mereka memecah belah agama dan bangsanya menjadi beberapa golongan. Dan setelah itu mereka saling berbangga dengan golongannya.
Hal apapun bagi setiap isi kepala tidaklah sama, karena tidak sama itulah agar bisa saling menghargai dan memahami perbedaannya, dan menemukan kesamaannya, bukan malah di beda-bedakan, atau sengaja di cari perbedaannya, itulah yang sering menjadikan salah paham, kadang sesama orang baikpun bisa salah paham, apa yang di anggap besar belum tentu menjadi sesuatu yang besar bagi orang lain, kadang juga apa yang di anggap kecil belum tentu hal kecil bagi orang lain, tapi jika kita bisa saling memahami, akan bisa merasakan apa yang orang lain rasakan. Apalagi jika sampai hal kecil di besar-besarkan, setelah besar di timbulkan ke permukaan menjadi konflik yang tidak pernah berujung.
Ketika isi kepala merasa berbeda, disitulah fungsi hati untuk bisa saling memahami, fungsi pikiran untuk bisa saling terbuka, fungsi bibir untuk bisa saling menjalin komunikasi yang efektif, fungsi tangan saling berjabat dan bekenalan, bukan belum kenal sudah saling menghujat, meski kebenaran itu sudah ada di hati, tidak perlu juga saling menonjol-nonjolkan diri, saling unjuk gigi, saling membenarkan diri dan golongannya masing-masing, meski hanya konflik yang bisa membuat perubahan, tapi jika agama di jadikan alat konflik untuk mencapai perubahan, adalah suatu yang telah melampaui batas.
Seseorang paham bukan karena dia telah mengerti, melainkan dari bisa mengertilah maka dia akan paham, mengerti bukan hanya sebatas tahu, melainkan bisa sampai pada apa yang belum dia ketahui, jangan sampai terjebak pada periferisnya semata, melihat orang lain hanya dari segi penampilannya, menilai orang lain hanya sebatas perbuatannya, mengenali orang lain hanya sekilas, bahkan jika sudah merasa mengenal lebih jauh dan merasa telah mengetahui segalanyapun pasti masih ada sisi yang belum terlihat. Karena paham bukan sekedar tahu, sebatas tahu, bahkan sudah tahu, atau sekedar mengerti, sebatas mengerti, bahkan sudah mengerti, tapi bagaimana melakukan tindakan baik dari apa yang kita tidak mengerti.
Bukan karena rajin ibadah lalu paham, melainkan karena bisa mengamalkan ibadah yang di lakukannyalah menjadi paham, seorang yang ibadahnya rajin belum bisa di jadikan jaminan, pertama kita tidak pernah tahu isi hatinya, niat ibadahnya kepada siapa?" Seutuhnya kepada Tuhannya atau malah kepada yang lain, ada pamrih di dalam hatinya atau benar-benar murni ibadah," Untuk apa? " Benar-benar murni ibadah atau sekedar ingin ibadah, atau ada alasan pamer kepada sesamanya agar di nilai seorang yang terpuji, shaleh dan alim," berharap apa?" Benar-benar murni ibadah atau berharap pujian.
Bahkan banyak orang ibadah tapi dengki kepada yang tidak melakukan ibadah, lalu hatinya hanya di penuhi kedengkian, "apa guna ibadahnya?" Ada yang melakukan ibadah, lalu merasa telah terjamin surganya, lebih pantas masuk surga, dan meneraka-nerakakan yang lainnya, jika di telisik lebih dalam," apa yang di dapat dari hati yang tidak suci?" Tubuh yang kotor di sucikan dengan air wudhu, sedangkan hati kotor di sucikan dengan niat yang baik, jika niatnya sudah tidak baik, lalu "apa yang di dapat dari ibadahnya?"
Seorang yang beribadahpun sekaligus bisa berbuat munafik, "mengapa bisa di katakan munafik?" Di mana tubuhnya melakukan ibadah, tapi hati dan pikirannya bukan menuju ke Tuhannya, melainkan memikirkan dunia yang sementara di tinggalkannya."Apakah ibadah yang di lakukan sudah benar-benar sempurna?" Atau malah hanya merasa telah sempurna, "Apakah katarsis yang telah di lakukan sudah sampai pada pensucian diri sekaligus juga sampai pada pensucian hati?" bukankah semestinya jangan melakukan suatu yang terlihat benar, tapi lakukan dengan benar, apalagi yang menilai hanya diri sendiri, pasti senantiasa akan merasa benar.
Bukan karena penampilannya yang alim menjadi paham, melainkan karena hati sucinya yang membuatnya paham, sedangkan keimanan hati tidak ada seorang pun yang bisa melihat dan menilai, karena hati adalah suatu yang tersembunyi dan terkunci dari dalam, sedangkan penampilan sendiri seutuhnya juga tidak bisa di jadikan jaminan, semisal sebagus apapun chasingnya hp, jika mesinnya rusak tidak akan bernilai, bermanfaat dan tidak bisa di gunakan, sebaliknya... meskipun chasingnya buruk, jika mesinnya berfungsi dengan baik pasti akan memiliki nilai, bermanfaat dan bisa di gunakan sesuai dengan fungsinya, itulah gambaran dari penampilan dan hati seseorang, sebagus apapun penampilannya, jika hatinya buruk tidak ada istimewa dan harganya, sebaliknya seburuk apapun penampilannya, jika hatinya baik pasti baik juga perbuatannya dan bermanfaat buat yang lainnya. Dan banyak penilaian orang terjebak di penampilan seseorang, tanpa terlebih dahulu mau bercermin, mengukur diri dan mengenal lebih dalam lagi.
Bukan karena tidak pernah meninggalkan pengajian menjadi paham, melainkan karena tidak pernah meninggalkan kebaikanlah seseorang menjadi paham, karena agama menganjurkan untuk berlomba-lomba dalam kebaikan, banyak orang tidak pernah meninggalkan majelis taklim hingga lupa apa yang dia peroleh dari pengajian itu, semakin banyak ilmu yang di dapat, semakin lupa juga cara mengamalkan ilmunya, apalagi sedikit ilmu yang di dapatkan, sedikit juga pemahamannya, atau malah sebaliknya merasa lebih pintar dari orang lain, padahal mengurus diri sendiri jauh lebih penting. "Jangan tanya agamanya apa?" Karena kebaikan tidak memiliki agama, melainkan kebaikan milik semua agama, karena semua agama mengajarkan kebaikan, jika seseorang beragama menampilkan perbuatan kurang baik, bukan agamanya yang tidak baik, melainkan saat pengajian orang tersebut bicara sendiri, melamun atau tidak fokus, bahkan datang hanya untuk pindah tidur di pojokan, atau terlalu bersemangat dan agresif setelah mendapatkan ilmu hingga lupa bagaimana agama mengajarkan kebaikan, karena agama adalah rahmat bagi seluruh alam, namanya rahmat adalah kebaikan, jika di nilai tidak baik, bukan agamanya yang tidak baik, melainkan manusianya.
Bukan karena ilmunya yang setinggi langit menjadikannya paham, melainkan karena sikapnya yang membumilah menjadikannya paham, orang yang benar-benar berilmu pasti akan seperti padi, semakin berisi akan semakin menundukan diri, bukan malah tinggi hati, merasa paling benar sendiri, merasa paling unggul sendiri, merasa paling layak sendiri."Apa surga itu warisan orang tuamu?" Hingga merasa hanya kamu sendiri yang layak masuk surga! Umar Bin Khatab pernah berkata, bahwa ilmu memiliki tiga tahapan; Jika seseorang memasuki tahapan pertama dia akan sombong, jika dia memasuki tahapan kedua akan tawaduq atau rendah hati. Dan ketika dia memasuki tahapan ketiga akan merasa dirinya tidak ada apa-apanya.
Bukan karena ilmunya yang lebih tinggi langit menjadikannya paham, melainkan karena sikapnya yang membumilah menjadikannya paham, orang yang benar-benar berilmu pasti akan seperti padi, semakin berisi akan semakin menundukan diri, bukan malah tinggi hati, merasa paling benar sendiri, merasa paling unggul sendiri, merasa paling layak sendiri."Apa surga itu warisan orang tuamu?" Hingga merasa hanya kamu sendiri yang layak masuk surga! Umar Bin Khatab pernah berkata, bahwa ilmu memiliki tiga tahapan; Jika seseorang memasuki tahapan pertama dia akan sombong, jika dia memasuki tahapan kedua akan tawaduq atau rendah hati. Dan ketika dia memasuki tahapan ketiga akan merasa dirinya tidak ada apa-apanya.
Bukan karena ilmunya yang lebih tinggi menjadi paham, melainkan karena mampu rendah hatilah yang menjadikannya paham. Orang boleh pandai mengenai apapun, tapi jika tidak bisa mengenali dirinya sendiri, tidak rendah hati dan sadar diri, kepandaiannya hanya seperti monyet yang makan pisang lalu membuang kulitnya di sembarang tempat, membuang sampah tidak pada tempatnya, di mana sadar diri adalah kesadaran yang sampai ke diri, bukan hanya sadar yang tidak sampai ke diri, banyak orang sadar tapi tidak sampai ke dalam dirinya, hingga dia hanya sadar saja, dan lebih banyak pura-pura sadar, sadar sehari kambuhnya setahun hingga menaun. Di mana kesadaran di dapatkan dari bercermin guna merapikan hati, mau rendah hati, mengukur diri dan belajar dari kesalahan.
Bukan karena menetapi seseorang paham, melaikan karena memahami seseorang menjadi paham, jika seseorang paham hanya dari menetapi, lalu mentakfirismekan yang tidak menetapi. " Apakah sungguh begitu?" Menetapi berarti tidak berpindah, bergeser dari tempatnya dan melakukan kegiatan lain, sedangkan siapa yang masih manusia berarti harus melakukan rutinitas sebagai manusia, siapa yang masih berpijak di bumi semestinya harus bisa membumi, tidak melampaui batas kemampuannya sebagai manusia, atau tidak ada manusia yang sanggup melampaui batas kemampuannya sebagai manusia, maka perlu hati-hati menggunakan kata menetapi, jangan mudah mengintimidasi tanpa terlebih dahulu bercermin dan mengukur diri.
Jika tidak menetapi sudah di nilai murtad, "siapa yang tidak murtad di dunia ini dalam hal menetapi?" Harusnya menetapi tidak beranjak dari tempatnya, dan tidak ada manusia yang tidak beranjak, karena manusia tidak sanggup menahan lapar, menahan syahwatnya, menahan hasrat keinginannya, harus mencukupi keperluan hidupnya, harus melanjutkan untuk meraih impiannya. Sama halnya itu juga murtad, meski sementara, karena berpaling sementara dari apa yang di tetapinya, bahkan bisa di katakan selingkuh dari apa yang di tetapinya, karena melakukan hal lain dari selain yang di tetapinya.
Jika toh melihat seorang yang benar melakukan kemurtadan, tentu tidak perlu juga jadi hakim, karena tujuan manusia di ciptakan bukan untuk menghakimi sesamanya, jangan mudah mengkafir-kafirkan orang lain, jika kekafiran itu tidak terbukti, maka akan kembali pada dirinya sendiri, jangan juga suka menghina, karena seseorang tidak akan di matikan sebelum merasakan hal yang sama, atau merasakan apa yang pernah di lakukannya terhadap orang lain. Jangan juga mudah menghukumi, karena mengurus diri sendiri jauh lebih penting daripada merasa lebih suci dari orang lain.
Bukan karena ahli ibadah yang membuatnya paham, melainkan bisa memanusiakan manusialah yang menjadikannya paham, banyak orang pandai ilmu agamanya hingga lupa cara mengamalkan ilmunya, banyak orang belajar ilmu keTuhanan hingga lupa ajaran Tuhan itu sendiri, banyak orang berusaha meniru Nabinya malah perbuatannya semisal Iblis, banyak orang yang ilmunya melangit hingga lupa masih berpijak di bumi dan lupa untuk membumi.
Seseorang di hargai bukan karena ilmunya, melainkan cara mengamalkan ilmunya yang di tampilkan melalui perbuatan tubuhnya, jangan hanya di anggap keturunan Nabi lalu di anggap pasti sesuai Nabi, jika Hasan dan Husain adalah keturuan Nabi yang langsung dalam asuhan Nabi, tapi setelah itu tidak ada yang langsung dari asuhan Nabi, apalagi keturunan jauh dan jauh dari zaman kenabian, hati-hati ketika sebagai pengikut, jangan sampai merasa benar dengan mengikuti orang salah yang terlihat benar, jangan mengikuti orang yang terlihat benar, tapi ikutilah orang yang benar.
Semestinya jika seseorang memiliki kepahaman agama yang baik, pasti perbuatan yang di tampilkan melalui tubuhnya juga baik, tidak mudah mengintimidasi, mentakfirismekan, mengolok-ngolok, menghina, melainkan mudah memaafkan kesalahan orang lain agar ketika kita melakukan kesalahan mudah mendapatkan maaf dari orang lain, meskipun semua adalah atas kehendak Tuhan, para Malaikat yang kepatuhannya tidak diragukan lagi saja protes atas perkara penciptaan manusia, apalagi manusia yang senangnya memprotes segala sesuatu, juga senangnya memprotes, meski perkara yang telah di tetapkan oleh Tuhan sekalipun.
Iman bukan terletak pada periferis semata, melainkan iman berwujud abstrak dan terletak di dasar hati, tersembunyi dan terkunci dari dalam, aku tidak berharap manusia memujiku, cukup Allah yang menilaiku, aku bukan Yahudi, Nasrani bahkan Islam, jika ketika menyebutkan apa agamaku malah menimbulkan sebuah kebencian, karenanya sebelum beragama dan beribadah semestinya menjadi manusia terlebih dahulu, agar ketika beragama dan beribadah bisa selayaknya manusia, agamaku adalah bayi yang terlahir outentik, bisa di percaya, murni, suci dan bisa menyerahkan seutuhnya hidup kepada pemiliknya, dalam kubur sendiri tidak ada pertanyaan "agamamu apa?" Melainkan "siapa Tuhanmu?" Siapa Nabimu?" Dan "Apa kitabmu?"
"Mengapa Tuhan mengkaruniakan kemampuan yang terbatas kepada kita?" Karena yang di luar batas kemampuan kita adalah hak Tuhan, ada hak Tuhan di dalam tindakan atau keputusan yang kita lakukan dan ambil, maka kita harus mengembalikan atau memberikan hak itu kepadaTuhan, adalah hak Tuhan yang bekerja melakukan tindakan dan kehendak di luar batas kemampuan kita sebagai manusia, oleh karena itu Tuhan melarang kita bertindak melampaui batas.
"Bagaimana aku menerakan-nerakan seseorang?" Sedangkan aku saja belum benar-benar menginjakan kakiku di surga! Jikalau pernah singgah di surga, atau mungkin pernah tinggal di surga, bahkan terjamin surgaku, mungki aku akan berani meneraka-nerakakan orang lain, karena aku pernah tinggal di surga dan terjamin surgaku, dan akupun tahu betul seperti apa surga.
"Bagaimana aku berani mengatakan seseorang berdosa?" sedangkan aku sendiri tidak luput dari dosa, jika dosa kita tidak terlihat, karena Tuhan menyembunyikan aib kita.
Ketika aku menghina Iblis, menuduh seorang pendosa, bukankah hanya menjadikan sama buruknya, bahkan jika Tuhan tidak berkenan bisa di jadikan jauh lebih buruk, bukankah menghina apapun dan siapapun sama saja menghina karya Tuhan. Karena semua yang ada di alam semesta ini adalah tercipta dari ide agung, pikiran cemerlang, hati yang
suci sekaligus penuh kesungguhan, dan sentuhan yang penuh cinta kasih Tuhan "Siapa yang tidak murka jika karyanya di hina?"
Siapa kita? Sekedar alat Tuhan, karena takdir perlu alat agar terus berjalan, kita adalah alat Tuhan untuk menjalankan takdir Tuhan. Takdir ada karena adanya kita, tanpa kita maka takdir juga tidak mungkin ada. Tanpa kita takdir bukan apa-apa, tanpa takdir kita bukan siapa-siapa, tapi sebaiknya kita menentukan takdir kita ke arah yang baik, bukan baik di mata manusia, karena berharap baik di mata manusia hanya akan lebih banyak menuai kecewanya, melainkan baik karena semestinya itu yang kita lakukan.
Setiap hari kita bertemu dengan dunia yang beku, kaku dan semaunya sendiri, dunia menghardik kita dengan egonya, dan menantang kita dengan caranya. Dan dengan satu persatu tantangan yang di perlihatkan oleh dunia, kita memperoleh peluang besar untuk bertumbuh. Dan tidak mudah untuk terbunuh. Selalu ada hal yang menjadikan kita lebih baik dari setiap waktu yang masih kita miliki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar