Soal fiksi dan fakta, semua itu akan berbanding terbalik atau malah berbanding lurus kembali kepada pandangannya masing-masing, karena setiap isi kepala tidak ada yang sama, dan seringkali kita terjebak di dalamnya. Di mana dunia adalah semesta luas yang penuh dengan jebakan, tidak hanya jebakan yang membuat sesama orang jahat saling bertikai, bahkan sesama orang baikpun bisa saling salah paham, lalu menimbulkan kontradiksi eksternal maupun internal yang mendalam.
Karenanya bukan apa yang keliru, melainkan apa yang menyebabkan adanya kekeliruan, jika seorang bijak melihat kekeliruan adalah tempat bercermin dan mengukur diri, sebaliknya orang yang tidak mau melakukan rehabilitasi atas kekeliruaannya akan menyembunyikan kesalahannya, melempar kesalahannya ke orang lain, melindungi diri dengan tidak mau mengakui kesalahan itu, membenarkan diri, meyakinkan diri bahwa tidak melakukan kesalahan, menang sendiri, tidak mau menerima kenyataan, membuat kebenaran untuk menutup aib diri, mencari pembenaran diri, meninggikan ego, melambungkan gengsi dan meningkatkan standarisasi nilai harga diri.
Ketika ad hominem menjadi suatu peran dalam mengaktualkan diri, di mana lebih menyerang personalnya, bukan mengarah pada persoalannya, kekacauan seringkali muncul dari arah itu, yang semestinya persoalan besar di kecilkan, dan persoalan kecil di anggap tidak ada, malah membesarkan persoalan kecil, setelah membesar lalu isunya atau argumennya di alihkan, seringkali juga kesimpulan yang di ambil tidak berdasarkan premis atau dasar pemikiran, tidak ada komunikasi searah, melainkan membelokan arah komunikasi dengan mencoba menjadi pembelot.
Padahal komunikan yang baik tidak pernah membelotkan arah komunikasi, tidak pernah mengindahkan pertanyaan, di mana alasan yang di berikan tidak memiliki hubungan dengan persoalan yang sedang di diskusikan, semestinya komunikan mampu terus menghubungkan komunikasi agar tidak keluar dari rel, koreksi bisa di lakukan dengan tetap fokus pada persoalan yang di diskusikan, sebab dalam komunikasi, mesti timbul perbedaan pendapat, perdebatan sehebat apapun, bahkan ketidak-adanya kesepakatan yang bisa di setujui.
Tetap bisa menjaga alurnya komunikasi, bisa menjaga etika komunikasi, bukan malah melanggar sistem yang telah di tentukan hanya demi kemenangan sejenak, apalagi bersikeras harus memenangkan demi segepok uang, di mana telah di bayar untuk menang, mendapatkan bayaran karenanya harus menang, itulah yang seringkali menjadikan arah komunikasi cacat, sebab komunikasi yang di lakukan dengan cara-cara yang baik, pasti akan berbuah kemenangan yang baik, jikalaupun itu tidak bisa terjadi, kalah dalam keadaan terhormat, sebab harus mengakui bahwa tidak ada manusia yang abadi, tidak pernah terkalahkan, dan akan selalu menang dalam setiap kesempatan.
Komunikasi yang baik tidak menyerang tubuh, menjelek-jelekan ideologi lawan bicaranya, tidak menghina pernyataan lawan bicaranya, tidak mengolok-olok apapun yang di simpulkan lawan bicaranya. Dan tidak melakukan pembunuhan karakter, membunuh karakter lawan bicaranya dalam pergulatan argumentasi, bisa menghargai ketika lawan bicaranya memberikan penjelasan, tidak mamangkas pembicaraan lawan bicaranya yang belum tuntas, meskipun memang menunggu itu menjenuhkan, seiring itu juga tidak ada senjata terbaik untuk memperoleh pendewasaan kecuali kesabaran.
Semisal dalam menganut kepercayaan kepada satu Tuhan, dan satu keyakinan kepada Tuhan yang menjadi instrumen kebenaran, di mana kebenaran itu senantiasa benar, sebab benar tidak mungkin salah, tapi cara kerja keyakinan kepada Tuhanlah yang senantiasa menimbulkan gesekan, perselisihan dan kontradiksi mendalam di antara penganut keyakinan itu sendiri, pembenaran-pembenaran yang di selipkan dalam argumentasinya, merasa paling benar sendiri, fanatisme berlebihan terhadap kebenarannya, lalu berusaha menunjukan bahwa di luar kebenarannya adalah salah semua, dan tanpa di sadari ini termasuk ideologi rasisme, fasisme, kolonialisme, diktaktor dan otoriter.
Di mana menganggap bahwa dirinya atau kelompoknya adalah ras superior yang lebih baik dari yang lainnya, apalagi reaksi mereka ketika berhadapan dengan yang berbeda ideologi, pilihan, faham dan juga keyakinan. Bukankah anggapan itu termasuk kesombongan, dan bahayanya jika tidak menyadari tentang itu, khawatirnya lagi mereka tidak menyadari telah ambil bagian sebagai paralogisme, melakukan sesat pikir, dan tidak sadar akan sesat pikir yang di lakukannya.
Ketika ada sebuah pernyataan sederhana tentang perbedaan soal fiksi dan fakta. Di mana bisa di katakan fiksi berasal dari imajinasi, atau imajinatif tentang suatu hal, meskipun banyak orang mengambil kesimpulan bahwa imajinasi secara ketat tidak berdasarkan fakta. Tapi, juga di ambil kesimpulan bahwa tanpa obyek "apakah seseorang bisa melakukan ritual berimajinasi?" Sebab tidak semua orang mampu melakukan ritual imajinasi, di mana dalam melakukan ritual imajinasi perlu ada pendalaman rasa di dalamnya, tidak bisa di lakukan dengan sembarangan, bisa di katakan bahwa bahwa berimajinasi adalah sebuah kegiatan sakral.
Di mana tidak menutup kemungkinan banyak perubahan, bahkan apa yang kemudian hari menjadi kenyataan di dunia ini, berasal dari adanya ritual imajinasi seseorang, termasuk peradaban yang semakin memuda, berdandan dari imajinasi, dan Tuhan adalah pemilik seutuhnya gudang imajinasi, hingga imajinasi Tuhan tidak sanggup di imajinasikan oleh manusia, atau imajinasi manusia tidak sebanding dengan imajinasi Tuhan, atau imajinasi manusia tidak mampu menandingi imajinasi Tuhan, sehingga banyak manusia yang berpikir realita angkat tangan dalam memahami, dan lebih memilih diam dalam menyikapinya, atau bahkan malah sebagian besar mengolok-ngolok, sebab tidak mampu melakukan hal itu, atau ada yang beranggapan tidak nyata.
Tapi, ketika imajinasi itu menjadi nyata, meskipun memerlukan waktu yang cukup panjang, ketika semua orang menikmati hasilnya, tanpa berpikir kembali bahwa hasil dari apa yang di nikmatinya berasal dari imajinasi, termasuk teknologi, dapat di ambil kesimpulan jika itu yang terjadi, bahwa sesungguhnya fakta berdasarkan imajinasi, maka jika engkau belum memilikinya, berpikirlah kembali untuk memilikinya. Dan selain obyek yang di perlukan untuk berimajinasi, di perlukan juga wawasan yang luas, ilmu pengetahuan yang sangat tinggi, hasil pengalaman yang mumpuni dan latihan tanpa henti.
Imajinasi memerlukan obyek, imajinasi akan tetap menjadi imajinasi, jika tidak di kembalikan menjadi obyek, tentu hasil berimajinasi harus bisa membuahkan atau menciptakan obyek yang lebih baik lagi, sehingga suatu obyek mampu berkembang, mampu berubah, mampu berinkarnasi, mampu menjelma, mampu tumbuh, mampu memekar, dan bisa di nilai dengan akal bahwa sebuah induk yang mampu beranak pinakan fakta. Lalu bagi yang melihat secara langsung bisa mengatakan fakta, sebab dia melihat jelas bahwa imajinasi itu memperlihatkan wujud aslinya, kepadanya.
Semisal yang di perdebatkan beberapa waktu yang lalu, tentang kitab suci, jikalau di katakan fakta, jelas sekali fakta, tapi melalui sudut pandang yang mana, pencipta atau penikmat, jika pencipta maka kita suci itu fiksi yang akan di faktakan, sebaliknya juga bisa fiksi bagi yang belum mengalami, sebab masih dalam keadaan belum tentu terjadi teruntuk dirinya, atau keadaan yang akan bisa terjadi dan mengenainya, kecuali bagi yang telah mengalami, maka akan mengatakan jelas itu fakta, sebab dia telah menikmati hasil imajinasi itu, sedangkan kitab suci ada sebab adanya manusia, tanpa manusia maka kitab suci tak akan pernah nyata.
Bagi yang belum mengalami bisa mengatakan fiksi, sebab ketika kitab suci dia pelajari, seketika yang telahir dari isi kepalanya adalah imajiner, di mana kitab suci membuatnya berkahyal, terlebih mengenai soal-soal yang masih ghaib atau soal-soal yang jauh dari kenyataan hidupnya. Soal-soal yang belum tentu terjadi dalam hidupnya, semisal Rasulallah melakukan Isra Mikraj, Nabi Isa naik ke langit, Nabi Idris tinggal di surga, Nabi Qidir masih hidup hingga sekarang, tentang surga dan neraka, tentang ikan nun yang memikul bumi, kisah para Malaikat, dunia lain di sekitar manusia, tentang baitul izza, baitul makmur, sridotul muntaha hingga Arasy Tuhan.
Lalu ketika mendengar atau membaca perihal itu, "apa yang terjadi di dalam kepala?" Seketika akan berimajinasi, berkahyal, menggambarkan, menjelajah. Dan yang tidak mengalami, atau kejadian yang tidak di alami dalam hidupnya, atau yang tidak menemui apa yang terjadi, atau yang belum menemui, selain kata percaya! Maka apa yang akan di katakannya, itu semua adalah imajinasi, sebuah gambaran yang di peruntukan untuk manusia, bisa jadi sebatas, bisa jadi mendobrak batas dengan menjadikannya fakta, semua perbedaan pandangan itu ada, sebab tidak semua manusia mengalami apa yang ada di kitab suci. Ada yang percaya, sebagian mengatakan bahwa itu fakta, dan sebagian lagi akan mengatakan bahwa itu fiksi. Dan itu semua tidak bisa di pungkiri.
Sedangkan yang percaya sekalipun, masih bisa di ragukan tentang kepercayaannya, di mana bisa terbelah menjadi beberapa golongan; Golongan yang percaya bahwa itu fakta, golongan yang percaya bahwa itu fiksi, dan golongan yang percaya bahwa itu fiksi yang akan menjadi fakta, sebab banyak orang percaya tapi tidak melakukan apa yang di percayainya, mengakui tapi hanya sekedar pengakuan, ada yang percaya Tuhan tapi tidak melaksanakan apa yang menjadi firmanNya, ada yang percaya surga tapi tidak melakukan suatu hal yang bisa mendekatkannya kepada surga, percaya kitab suci, belajar kitab suci hingga belajar tentang keTuhanan, sampai lupa apa yang di percaya dan di pelajarinya sendiri.
Kepercayaan yang masih bisa di pertanyakan, berlomba-lomba dalam kebaikan, sampai lupa melakukan kebaikan, sampai lupa merawat kebaikan, sampai lupa kebaikan dalam hatinya, kadang malah argumennya berlaku untuk diri sendiri dan tidak berlaku untuk orang lain, atau sebaliknya berlaku untuk orang lain tapi tidak berlaku untuk dirinya sendiri. Sebab banyak orang merasa lebih pintar sampai lupa mengurus diri sendiri, atau senang mengurus orang lain sampai lupa mengurus diri sendiri, padahal mengurus diri sendiri jauh lebih penting dari merasa lebih pintar dan mengurus dari orang lain.
Sebagaimapun sebuah argumentasi atau penjelasan, pasti akan ada yang tidak bisa menerima, atau malah akan lebih banyak yang mencela, bahkan menghardik habis-habisan. Jangan percaya, sebab itu hanya sihir dari seni retorika, atau masuk akal juga, sebab seni retorika tidak menggunakan sihir, atau patut di pelajari, meskipun agak nyeleneh, atau memiliki kemungkinan juga, sebab semesta adalah aksi reaksi, atau tidak perlu di ladeni, sebab hanya akan menambah kedudukan orang gila saja di dunia ini, atau patut di evaluasi, sebab mengandung unsur teori di dalamnya, bahkan akan ada juga yang mengatakan bahwa itu kepahaman sesat, hati-hati jangan sampai tersesat, dan tanpa di sadari bukankah semua manusia di dunia ini dalam keadaan sedang tersesat.
Sama halnya dengan Misi dan Visi. Di mana misi sudah jelas terlihat di depan mata, sedangkan yang jelas terlihat di depan mata saja belum tentu bisa di pahami, apalagi yang jauh dari pandangan mata, visi adalah pandangan yang jauh ke depan melebihi generasi dan zamannya. Di mana tidak semua misi dapat di pahami, tidak semua visi juga perlu di pahami, melainkan cukup di nikmati,
Semestinya ketika kita melihat kebaikan maka ambilah seluruhnya, sisakan keburukan untuk tempat merekonsiliasi atau memperbaiki diri kembali, sebab tidak seorangpun yang tidak pernah melakukan kesalahan sama sekali, malah kebenaran yang kita pegang sekarang belum tentu kebenaran mutlak, meski harus kita percaya kebenaran itu, sebab di lain hari tidak menutup kemungkinan kita menemukan kebenaran yang lebih baik dari yang kita pegang sekarang, sebab kebenaran itu tidak berujung, meski telah merasa menjadi ahli kitab suci sekalipun atau kitab-kitab apapun, dan ketika melihat keburukan jangan seketika menghina kemudian di tinggalkan sama sekali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar