Ketika aku mendengar ada seorang ustad yang level ceramahnya sudah setaraf TV nasional berkata, lalu kata-katanya menjadi kontradiksi mendalam di dalam tubuhku.
Dia berkata, bahwa setiap orang itu awalnya sesat dan Rasulallah termasuk juga awalnya sesat.
Aku tidak menyalahkan atau membenarkannya, karena Allah memang memberikan kepahaman kepadanya sebatas itu, memang kepahamannya cuma segitu.
"Mau di apain lagi?" Kurasa dia itu hanya ingin curhat mengenai dirinya di masa lalu, bahwa dirinya pernah di anggap memasuki masa paling kelabu dalam hidupnya.
Lalu sehabis gelap terbitlah terang. Anggap saja kata-kata yang di lontarkan melalui bibirnya itu saking bersyukurnya setelah kembali kaffah.
Karena Rasulallah memang mengajarkan, seburuk apapun kehidupan yang terjadi atau kenyataan yang di alami, sebaiknya tetap kusnudzonbillah bukan suudzonbillah.
Sebenarnya, tidak ada manusia yang pernah atau dalam keadaan sesat, melainkan lebih tepatnya sedang tersesat, karena tersesat itu dalam pandangan dan penalaran orang awam menjadi terlihat sesat.
Semestinya, kalau ada seorang yang tersesat maka tugas yang tahu betul jalan kebenaran menunjukan arah jalan yang sebenarnya, bukan malah menyesatkan lagi, karena ego, gengsi dengki dst.
"Bagaimana bisa di katakan awal manusia sesat?" Padahal Allah menciptakan Adam penuh dengan cinta, hingga azazil yang awalnya sebagai mahluk kesayangan Allah merasa di anak tirikan.
"Bagaimana awal manusia bisa di katakan sesat?" Padahal tujuan Allah menciptakan manusia itu sebagai Khalifah di muka bumi.
"Bagaimana awal manusia bisa di katakan sesat?" Bayi yang terlahir itu dalam keadaan suci.
Pertama adam itu tidak sesat, melainkan di sesatkan, hingga akhirnya Allah menurunkan ke bumi. Dan tujuan Allah menurunkan ke bumi itu bukan karena dosanya Adam, melainkan Allah memiliki tujuan yang lebih tinggi lagi.
Sejak lima puluh ribu tahun sebelum langit dan bumi di ciptakan, yaitu sebagai Khalifah. Dalam perjalanan hidup manusia memerlukan proses.
Dan yang ustad itu alami adalah proses dalam menjalani hidupnya sendiri, bahwa dia pernah menyesatkan dirinya sendiri. Seolah-olah karena tersesat itu dia merasa dirinya pernah sesat.
Kalau tidak tersesat gak mungkin dia akan mengatakan pernah sesat, berarti tidak ada manusia yang sesat kecuali sedang tersesat.
Kalau soal mauludan, boleh kita berbeda ideologi, tapi juga tidak perlu mengintimidasi kalau merasa tidak sesuai. Mauludan memang bukan sunah atau kebiasaan Rasulallah.
Dan aku lebih memandang mauludan itu suatu penghormatan bagi yang menjalaninya, suatu bentuk rasa syukur kepada Rasulallah karena telah menjadi Rahmatan lilalamin untuk mereka.
Karena banyak cara hamba, kaum, atau sesama manusia dalam mengamalkan rasa bersyukurnya, atau dalam membalas ucapan terima kasih.
Jangan pernah mudah mengatakan rusak orang lain, karena Rasulallah pernah bersabda; "bahwa orang yang senang mengatakan sesamanya rusak, sesungguhnya dia sendirilah yang rusak"
Dalam hadist bukhori juga di katakan: "Jangan mudah mengkafir-kafirkan orang lain, jika kekafiran itu tidak terbukti, maka kekafiran itu akan kembali pada dirimu sendiri."
Dan di tambah lagi di hadist Tirmidzi:"Ketika seorang menghina dosa sesamanya, maka dia tidak akan di matikan sebelum melakukan atau merasakan dosa atau hal yang sama."
Dan perlu di ketahui, ketika seseorang telah menyesali perbuatannya dan minta maaf, maka jangan lagi memojokan orang yang berbuat salah atau yang sedang di takdirkan melakukan kesalahan, agar ketika kita berbuat salah tidak di pojokan, atau ketika bebuat atau di takdirkan melakukan kesalahan tidak mendapatkan perlakuan yang sama.
Wajib memaafkan! Entah kesalahan orang lain ataupun kesalahan yang di lakukan oleh tubuh kita sendiri, karena ada yang lebih dzalim dari Iblis dan Firaun, yaitu seorang hamba yang tidak mau saling memaafkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar