Mengenai Saya

Mahluk asing yang di trasmigrasikan dari surga. Dan di selundupkan ke bumi melalui rahim ibu. Terlahir dari kolaborasi cinta, sinergi kasih sayang. Dan tumbuh menjadi pelaku pelecehan media sosial. Aku tidak pandai, tidak juga tampan, kebetulan saja Tuhan menyelundupkanku melalui rahim ibu. Dan di transmigrasikan ke bumi ini sebagai alat Tuhan. Sebagai alat agar sistem pentakdiran terus berjalan.

Senin, 07 Oktober 2019

Ketika Retorika Bergaul Dengan Rasa

Ampuni aku, Tuhan, jangan biarkan hidupku di penuhi dengan rasa benci dan dendam yang terus berkelanjutan, sebab rasa yang pernah di abaikan oleh seseorang, bagaimanapun juga sebagai manusia tidak ada yang bisa lari dari kehendakMu, Engkau adalah pemilik seluruh hati, hanya Engkau yang mampu mengubah hati seseorang, termasuk kerasnya hatiku yang terus memberontak untuk melupakan seluruh kejadian, sebab dealektika searah tidak pernah berujung pada titik temu.

Janganlah terus membenciku atas seluruh keliruku, atau membiarkanku terus membencimu atas seluruh kelirumu, apalagi akhir-akhir ini aku yang sedang merajuk kepadamu, sebab kesungguhan hatiku yang tidak pernah engkau hargai, jungkir balik aku sendirian menghadapi seluruh beban keadaan, bukan berarti sebab pamrih yang tidak memperoleh pengembalian hatiku patah, sedangkan bagiku sendiri patah hati adalah tidak profesional, sebaik-baiknya patah hati adalah yang lekas kembali pulih, dan tidak ada kamus patah hati di dalam hidupku, jikalaupun Tuhan menghendaki patah, tidak masalah, tapi aku lebih memilih menjadi hujan yang berkali-kali jatuh dari langit dan tidak pernah patah.

Di mana pagi, siang dan malam adalah saksi tentang kesungguhan hati ini, cantik itu tidak ada arti tanpa peduli, apalagi jika tidak cantik sama sekali, keindahan itu terlihat nyata sebab mata menggunakan rasa dalam melihatnya, tanpa rasa keindahan tidak ada artinya. Rasa memiliki peran pusat dan sakral dalam hidup kita, tanpa rasa seluruh kehidupan adalah hampa, melainkan dengan rasa kehidupan lebih berwarna, semisal kopi pahit, tanpa gula tidak akan pernah manis, kurang gula akan biasa-biasa saja, kelebihan gula akan membuat mual, hanya perlu secukupnya.

Kehidupan adalah hak milik bersama, di mana semua manusia memiliki hak yang sama dalam memperoleh kehidupan, begitu juga dengan cinta dan kasih sayang, semua manusia menanggung hak yang sama dalam menikmatinya, "Mengapa harus menanggung?" Sebab cinta dan kasih sayang adalah tanggungan yang tidak ringan, di mana cinta dan kasih sayang adalah sesuatu yang perlu di cukupi, meminta keperluannya tidak di abaikan,  bukan ketika perlu saja baru ada, ketika tidak perlu tiada.

Dalam pertimbangan logika, cinta dan kasih sayang bukanlah suatu hal yang patut di pertimbangkan, di timbang-timbang, dan di ukur sesuai aturan, sebab termasuk produk Tuhan yang tidak bisa di bedah hanya dengan logika, melainkan di perlukan juga rasa sebagai alat vital pembedahannya, apalagi di kekang dengan sistem yang aristokrat, kaum bangsawan hanya pantas bersanding dengan kaum bangsawan, selain itu tidak ada yang pantas! Jika itu yang terjadi, pasti fanatisme yang menjadi dasar pemikiran dalam pengambilan keputusan, sebab harga diri yang lebih di utamakan, ego yang lebih di jadikan jaminan dan gengsi yang lebih di besar-besarkan.

Kemungkinan logis jika segala sesuatunya di awali dengan nilai harga diri, maka akhirnya harga diri itu tidak memiliki nilai sama sekali, sebab segala sesuatunya penuh dengan penilaian, semestinya dapat memahami bahwa tidak ada hukum tetap di bumi ini, bisa jadi seiring kehidupan yang tidak pasti, tiba-tiba takdir menjatuhkan dari ketinggian, harga diri itu juga ikut mati, tidak perlu menonjol-nonjolkan diri dan membuat pengakuan kepada orang lain, sebab tanpa di minta, di mana saja orang baik pasti akan mendapatkan perlakuan dan pengakuan yang baik.

Bukankah kebaikan tidak pernah mengatakan bahwa dirinya adalah kebaikan, melainkan bibir-bibir yang mengakui kebaikan itu adalah kebaikan, sebab kebaikan bisa tampil totalitas melalui perbuatan baik, meminta pengakuan atau minta di akui adalah termasuk fasis, sebab memiliki kekhawatiran yang berlebihan terhadap sesuatu yang belum tentu terjadi, dan terlalu menTuhankan kekhawatiran hanya akan mencelakai diri sendiri, hidup menjadi tidak ringan, tidak bisa melakukan kehendak bebas, selalu merasa tertekan, terjadi pertimpangan dalam tubuh, dan kekhawatiran menjadi momok halusinasi yang bisa membahayakan diri sendiri.

Jangan biarkan hati kita hidup gelisah dalam kebencian, di mana kebencian mengunci pintu hati kita dari dalam, lalu kita menutup diri dari dunia luar, tidak mau membuat kredibilitas yang mungkin bisa memajukan pikiran, di mana kemajuan pikiran bisa membuahkan damai untuk keperluan hati, eksistensi hanya di habiskan dalam kemarahan yang tidak lain menikam hati sendiri, yang kemudian hati menjadi cacat permanen sebelum waktunya, di mana kemarahan menjadi kolonialisme yang memperbudak kebaikan hati, yang semestinya menjadi peran utama untuk di tampilkan, keadaan itu adalah keterpurukan terbesar dari umat manusia, sebab energi habis hanya untuk suatu hal yang tidak berguna.

Di mana juga kemarahan hanya akan berakhir dalam penyesalan, sebab tidak ada kebaikan yang bermukim di tengah kemarahan, atau malah mengusir kebaikan yang telah menjadi penghuni lama di dalam tubuh, hanya sebab lebih mementingkan kemarahan daripada kultur kemanusian, ini adalah suatu hal pembodohan untuk diri sendiri, tanpa ada kesadaran untuk merevolusi pikiran, maka tidak akan ada kemerdekaan untuk berpikir jernih, di mana mata menjadi buta karenanya, bibir lebih cepat melajukan pikiran kotor, dan tubuh yang semestinya sebagai rumah untuk bernaung menjadi suatu hal yang asing.

Pikiran tidak bertulang, memiliki kecepatan melebihi cahaya, sehingga sekejab bisa merugikan atau malah menguntungkan tubuh, kembali pada perbuatan yang di tampilkan dari hasil produksi pikiran itu sendiri, sebab pikiran adalah pusat dari peradaban tubuh yang menentukan; baik atau kurang baiknya seseorang, jika pikiran kotor, mungkin perlu tempat rehabilitasi sebagai pembersihnya, entah seseorang atau suatu tempat ibadah, sebab istirahat tidak harus tidur, melainkan meletakan kepala di atas sajadah juga termasuk wujud dari istirahat.

Apalagi akhir-akhir ini, di mana umat manusia kelangkaan pikiran waras sebagai manusia, hasil study kewarasan menjelaskan, bahwa lebih banyak orang gila yang pura-pura waras daripada orang waras yang pura-pura gila, sebab pikiran waras sudah amat langka wujudnya, pikiran waras telah menjadi budak ketidakwarasan, di mana-mana terlihat bahwa ketidakwaras mendominan menjadi suatu kegiatan sosial, sebab pikiran-pikiran yang tidak waras membangun perkumpulan ketidakwarasan, dan pusat kumpulnya ada di dalam kendali pembenaran.

Di mana pembenaran adalah termasuk sektarianisme yang menkotak-kotakan pikiran dasar, atau dasar pemikiran religius yang berasal dari langit, lalu banyak yang menyalahgunakan melalui bahasa-bahasa melangit, tanpa menyadari bahwa masih menginjakan kakinya di atas bumi, sedangkan tradisi lama yang bergelut dengan waktu sebagai integritas menjadi tabu, sebab seorang yang tidak suka menerima kebohongan, tapi senang berbohong kepada dirinya sendiri, melakukan skandal besar yang di buat-buatnya sendiri, terlalu mementingkan standarisasi tanpa terlebih dulu mau mengaca.

Sungguh ironi sosial yang legit di pandangan sosial sebagai hal yang wajar, tapi di penuhi kekhawatiran di dalamnya, sebab terlalu banyak argumentasi yang mandul aksi, terlalu mengutamakan harga diri daripada apa yang tersimpam di dalam hati.

Sebab itu, jangan biarkan hidupku terus menerus sebagai pendosa teruntukmu, jika engkau tidak menginginkanku hadir dalam hidupmu, maka cukup katakan bahwa aku bukanlah seorang yang pantas, lalu tinggalkanlah aku dalam pelukan malam, tanpa ada tikaman rasa lagi yang mendalam, cukup sebanding dengan apa yang telah langit ujarkan, bahwa takdir tidak pernah memihak, roda waktu akan senantiasa bergulir seperti itu, tidak ada yang berubah, keutamaan-keutamaanpun akan segera runtuh dari peradaban, sebab kesunyian sudah seringkali menghampiri satu persatu, dan meninggalkan kenangan yang berserak di halaman setiap tubuh.

Aku tak mengharapkan apapun, senantiasa aku hanya akan menanti ampunan darimu, sampai kapanpun itu. Atau malah surga jatuh kebumi sebagai keajaiban, biarpun surga tidak pernah terlihat nyata, tapi apa yang membuat bahagia itulah surga, di mana rasanya yang sama, tidak ada batas penghalang untuk merasakan nikmatnya, sungguh keistimewaan itu ada di antara kita, tinggal bagaimana cara kita menemukannya, mau atau tidak mau, tertinggal dalam rasa bersalah yang besar atau tetap melaju meski tercekik rasa malu, "bukankah begitu?"

Hanya Tuhan yang tahu, "bagaimana sebenarnya fungsi hidupku ini teruntukmu?"jika engkau memang adalah seorang itu, maka jarak bukanlah waktu yang berabad-abad, harus menanti pertemuan hingga umur memutih di rambut, atau umur harus mengkeriput di wajah, atau tubuh harus terlebih dahulu tertimbun tanah, cukupkan keperluan hati sebagai bekal melangkah, jika keperluan hati tercukupi, maka hatipun akan ringan untuk melangkah, sebab bukan lompatan besar yang mengubah sejarah, melainkan langkah-langkah kecil yang konsiten dan tidak gampang menyerah.

Sungguh, aku rindu suara ampunanmu kepadaku, dan kerinduanku bukahlah syahwat anu yang bisa membuat kalkulasi pikiran sehat jatuh melulu, melainkan iman yang tidak bisa di lihat oleh syahwat, sebab terbungkus rapat melalui akal sehat, selain itu... rindu bukan soal kehabisan waktu, melainkan tubuh kita yang tidak pernah abadi, sedangkan waktu adalah hal yang abadi, meski suatu hari akan kembali tanpa angka, mungkin seperti hembusan angin, tidak bisa di nilai dan di lihat, tapi senantiasa dapat di rasakan dengan cukup baik, sebaik langit melindungi bumi dari batu meteor yang berserak di ruang angkasa.

Sehabis itu bila kamu menghendakiku pergi, maka aku akan pergi dan tidak akan pernah memperlihatkan diri lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar