Seseorang yang memperlakukan orang lain dengan lembut pengertian, mengasihi dari hati, mencerminkan hati yang murni, tanpa ada pamrih yang tersembunyi, apalagi keinginan untuk menguasai, tanpa ada tipu daya yang mengejami, adalah perbuatan mulia yang hakiki, sebab tidak ingin melukai, dengan sepenuh hati membangun hubungan jangka panjang, di mana sebuah tradisi yang di terapkan orang timur, sebagai kultur budaya yang agung, menjadikan takdir akan sungkan sendiri.
Apalagi sebuah pertemuan biasa yang di sakralkan, seperti hubungan khusus yang di suguhkan indah, dengan menampilkan pelbagai karakteristik apa adanya, meski terlihat lugu tapi itu adalah hal yang mampu menarik hati, membuat daya tarik tersendiri dan mengubah sepi menjadi ramai, meskipun remang-remang terlihat terlupakan, berlokasi di pinggiran kota yang bergemerlap terang, akan senantiasa menarik para pendatang, justru keabadian adalah harta yang tersembunyi, di mana tidak ada penonjolan diri sama sekali, masih tertelan oleh bumi.
Apapun yang terlihat belum tentu enak di nikmati, sedangkan yang misteri malah seringkali di cari, yang tersembunyi seringkali di gali, yang menghindar seringkali di kejar, yang berlari seringkali di minta kembali, yang di nilai sederhana seringkali itulah yang istimewa, yang di anggap tak berguna seringkali menjadi berharga, di mana harta karun tidak pernah unjuk gigi, melainkan bertahan di kedalaman yang terdasar, tertimbun lumpur, berselimut angker, tertutup semak belukar, tertanam hutan, terduduki gunung, berbaur dengan sampah, tidak luput, seringkali mendapatkan umpat dan kata-kata serapah.
Di mana klasik masih saja asik, meski telah banyak bayi terlahir mencoba menghardik, sebab dalam pergulatan hidup di era modern, pasti akan ada rasa kangen terhadap waktu yang telah berlalu, tidak menutup kemungkinan itu, ingatan seringkali mengajak berlari kembali ke masa lalu, sebanyak apapun data yang tersimpan dalam kepala, akan tetap tertampung rapi di pikiran sebagai ruang perpustakaan, dan kepala memiliki kapasitas melebihi memori komputer, tidak akan pernah meledak, meski terjejal pelbagai rupa kenangan, tertimbun sebanyak apapun pikiran, bahkan masih memberikan ruang berkehendak dan bergerak.
Roda kehidupan terus berputar, seperti para peserta haji yang tawaf mengelilingi batu hajar aswat, seperti para Malaikat yang tidak henti-hentinya tawaf di Baitul Makmur, di mana kepergiaannya seolah tidak pernah kembali, tapi akan kembali, tepat masa kesepakatan lima puluh ribu tahun yang lalu di mulai, keberadaannya sebagai penyeimbang roda semesta, seperti kecupan pertama hujan pada bibir bumi yang kemarau, lembut..tanpa ada rasa amarah yang bersemayam di dalamnya, mendamaikan hati, menentramkan pikiran, menyejukan pandangan, meruntuhkan seluruh beban, dan menghantam roboh segala kesenjangan.
Hujan cahaya hadir dari sinar bulan, tidak melakukan sengketa yang membuat hati siapapun merana, melainkan menundukan jiwa-jiwa liar, di mana ego yang melangit, harga diri yang di patok sangat tinggi dan gengsi yang tidak pernah di bumikan, meraung, menggeliat, meluap, menghantam, menendang, meradang, menggarang, mengguntur, memetir-metir, memelintir, mengajak hati untuk senantiasa khawatir; tidak di hargai, tidak di hormati, tidak di akui, tidak di patuhi, tidak di segani, tidak di terima, tidak di perhatikan, tidak di utamakan, tidak di wahidkan, dan tidak...tidak... tidak yang bisa merusak kebaikan hati sendiri.
Sebab tanpa di minta, seorang yang memiliki kesadaran tingkat dewa, akan menghargai perlakuan baik dan halus berkemanusiaan, tanpa minta di kultuskan atau mengkultuskan senantiasa akan berbuat lurus hati, bisa menikmati waktu, waktunya rehat sejenak, di terima saja dulu dengan enak, sebab akan ada waktunya kembali melangkah, ada waktu kembali pulang, ada waktu kembali berpetualang, ada waktunya kembali memutar otak, hingga waktu tidak ingin sama sekali menggunakan otak, kecuali keinginan untuk makan otak-otak, ada waktu tidak bisa menikmati waktu, ada waktu bisa menikmati seluruh waktu, sebab itu waktu adalah candu.
Di mana mampu jujur pada diri sendiri dan tidak ada yang di tutup-tutupi, sebab jika tidak bisa jujur kepada diri sendiri, "Bagaimana bisa jujur kepada orang lain?" Meski jujur tidak selamanya seenak rendang, gulai kambing, sayur lodeh, opor ayam, bahkan masakan padang, tapi tetap kejujuran yang di perlukan seseorang, untuk mendapatkan kepercayaan atau agar orang lain bisa percaya, atau agar bisa di percaya, sebab seseorang yang di pegang adalah kata-katanya, jika kata-katanya tidak bisa di pegang, lalu apa lagi yang perlu untuk di pegang.
Juga pemurah, pemaaf dan tidak mudah sakit hati. Murah hati yang tidak mudah marah-marah, apalagi marah-marah yang tidak jelas, lalu semua di jadikaan pelampiasan, sebab jika seorang memperlakukan orang lain dalam keadaan marah, maka ia akan melakukan hal yang sama ketika sedang marah, apalagi pemaaf adalah juga hal yang pusat dan mendasar, di mana gesekan senantiasa akan ada, dan menjadi peringkat utama dalam keseharian manusia, ada yang lebih memilih diam, atau membalas perlakuan yang sama, bahkan kasih tinggal saja, saat itulah di mana jiwa pemaaf di perlukan, jika rasa angkara di ikuti, hanya akan membuat sakit hati dan melukai diri sendiri. Lalu.."Siapa yang rugi?"
Ia yang bijak tidak akan membiarkan hasrat keinginan menjadikannya lepas kendali , dan ia sendiri tidak merasa lebih tinggi dari kepalanya sendiri. Di mana juga tidak suka meminta pengakuan dan menonjol-nonjolkan diri, malah senantiasa akan rendah hati, sebab rendah hati tidak akan membuat dirinya rendah, melainkan akan membuat namanya akan semakin melambung tinggi, tanpa di sadari atau malah tanpa di minta sekalipun, tidak perlu menjaga nama baik, jika seseorang berbuat baik, otomatis namanya akan terjaga dengan baik, bahkan akan di kenang sepanjang hayatnya dan untuk selama-lamanya.
"Mengapa membiarkan diri terjebak kemegahan yang melenakan, kemasyhuran yang sejanak, kegembiraan yang berlebihan, kelebihan yang melalaikan, dan ketamakan yang menyesatkan?" Bukankah semua itu hanya hal yang akan di tinggalkan, seiring usia merabun di mata, atau malah usia lebih pendek dari ketentuan yang telah ada.
Padahal sesuatu yang di luar batas dan luar biasa tidak tahan lama, sebab ciptaan Tuhan saja ada waktunya selesai, apalagi bikinan manusia, pasti lebih rentan dan rapuh dari ciptaan Tuhan, termasuk lebih banyak kekurangan di dalamnya, bahkan yang terlihat sempurna belum tentu sempurna, melainkan sebatas pandangan sepasang mata menilainya, sedangkan sepasang mata itu sendiri ada batasnya, tidak bisa melampaui batas dari kemampuan sebagai panca indera yang telah di tentukan dengan seksama, lebih dari itu, masih banyak yang lainnya, melainkan yang bertahan adalah kerendahan hati, sederhana dan biasa-biasa saja.
Semua yang dibuat akan kehilangan rasa dan nikmat ketika waktunya tiba, seperti dunia tidak lagi menjadi hal yang berharga, istimewa dan di tasbihkan terus menerus sebagai pencuci mata, keharuman tanah tidak lagi berasa, wewangian hujan tidak lagi menjadi suatu yang di tunggu, keindahan langit tidak lagi legit, gedung-gedung tidak lagi manis, hembusan angin tidak lagi sejuk, kedudukan tidak lagi renyah, makanan mahal akan terasa hambar, bahkan perempuan cantik sekalipun tidak lagi menarik, melainkan hanya barang rongsokan dan seonggok sampah yang kembali di pandang sebelah mata, sebab tidak ada lagi rasa ingin menikmati, apalagi memiliki, semua kembali memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya, berbaring sendiri di hadapan sepi, dan seutuhnya tubuh telah kehilangan rasa, hanya rasa itu sendiri yang sejati, langgeng dan kekal abadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar