Mengenai Saya

Mahluk asing yang di trasmigrasikan dari surga. Dan di selundupkan ke bumi melalui rahim ibu. Terlahir dari kolaborasi cinta, sinergi kasih sayang. Dan tumbuh menjadi pelaku pelecehan media sosial. Aku tidak pandai, tidak juga tampan, kebetulan saja Tuhan menyelundupkanku melalui rahim ibu. Dan di transmigrasikan ke bumi ini sebagai alat Tuhan. Sebagai alat agar sistem pentakdiran terus berjalan.

Kamis, 03 Oktober 2019

Krisis Kepercayaan Dan Determinisme Pemimpin

Akhir-akhir ini bangsa kita sedang mengalami krisis kepercayaan, dan determinisme, sekaligus krisis intelektualitas ad hominem, di mana mudah terprofokasi oleh data yang belum pasti kemurniannya, validasi keabsahannya belum kaffah. Dan juga belum jelas kebenarannya.

Nonsequitur di mana kesimpulan yang di ambil tidak berdasarkan premis(dasar pemikiran). Melainkan main parang, hantam, terkam, tikam tanpa peduli itu adalah saudara sendiri, saudara sebangsa. Padahal  haram darah dan harta saudaranya.

Dan di mana gejolak jiwa muda yang di manfaatkan, di doktrin, bahkan di retorikain oleh oknum-oknum tertentu, apalagi sebagai mahasiswa baru, atau anak yang baru tumbuh, seketika jadilah kepala batu. Tidak peduli sedan sedu ataupun air mata keluarga siapapun, karena telah tersulut amarah terlebih dahulu.

Benar-benar kecohan dan kicauan si penghasut berhasil, atas nama kemanusiaan, kitapun turut prihatin, karena kemanusiaan lebih mahal dari apapun. Dan atas nama kemanusiaan juga kita tidak bisa melakukan lebih dari kemampuan kita sebagai manusia, karena yang kita hadapi bukan manusia, melainkan Iblis yang bersembunyi di balik topeng kemanusiaan.

Kontradiksi besar akan terus meledak, di berbagai titik yang memiliki jiwa rentan. Dan di anggap sebagai sasaran empuk mereka, agar bisa memenangkan konspirasi dan bisa menjadi makanan syetan.

Sungguh, suguhan tahun ini membuat bulu kuduk agak merinding, karena banyak isi kepala benar-benar tidak ingin terlebih dulu mengeja, menyaring, memilah dan observasi apa yang di terimanya, melainkan buah bibir yang di jatuhkan melalui kata-kata ataupun ungkapan saja sudah sanggup membuat pecah telur.

Epistimologi seolah menjadi fenomenologi yang tak lagi menjadi utama, semua terangsang oleh keindahan surga, di mana surga yang di janjikan oleh sesamanya. Sampai surga Tuhan sendiripun di lupa.

Bagaimana suasana keharmonisasian tidak lagi harmoni, bukan karena bodoh, melainkan karena tidak mau observasi terlebih dahulu, main cabut keris, main sikat. Dan dunia memang kenyataannya hanyalah main-main, setelah lelah bermain semua akan menyadari, bahwa tidak semua peran yang di mainkannya di setujui oleh Sang penyelenggara hidup.

Sekarang, bukan lagi menghidup-hidupkan Indonesia, melainkan yang ada semua saling berebut dan  mencari hidup di dalamnya.

Testimoni sesaat ini seolah menjadikan keadaan bangsa ini telah darurat, bahkan mungkin telah mengenai keadaan sekarat. Jika penyakit telah sampai pada stadium 4, kemungkinan besar hanya Tuhan yang bisa memutuskan.  Di sembuhkan agar kembali hidup atau hidup kembali dalam situasi berbeda, atau bahkan kematian yang menjadi pelaksana.

Demokrasi adalah kendaraan yang memiliki tujuan agar sampai pada Pancasila, melainkan tidak seluruhnya bisa terlaksana, di mana uang dari rakyat, untuk rakyat lalu kembali kepada rakyat menjelma gas air mata, water canon, pentungan hingga sejata yang menembus dada dan kepala.

Bukan saatnya lagi terus berargumentasi, apalagi hanya sampai pada dealektika yang tak berujung, janganlah jadi pemimpin yang membiarkan rakyatnya saling beradu dan menumpahkan darah, melainkan sudah saatnya harus tegas, jangan sampai situasi buruk ini terus menerus di ambil kesempatan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Dan hanya memikirkan kepentingannya sendiri. Bukankah dalam stabilitas negara, semestinya keamanan rakyatlah yang utama.

Jika yang memiliki wewenang mengatasi tidak segera ambil tindakan yang bijaksana, maka akan bisa berkelanjutan keos yang luar biasa besar, tentu dampaknya akan semakin lebih tragis lagi, tak terelakan mereka yang tidak tahu menahu, tidak tahu apa-apa, mereka yang masih menginginkan hidup, mereka yang masih memiliki cita-cita mulia, mereka yang masih melempar harapan ke langit, mereka yang masih menggenggam restu wingit, mereka yang masih ingin berkumpul sama keluarga terkena dampaknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar