Mengenai Saya

Mahluk asing yang di trasmigrasikan dari surga. Dan di selundupkan ke bumi melalui rahim ibu. Terlahir dari kolaborasi cinta, sinergi kasih sayang. Dan tumbuh menjadi pelaku pelecehan media sosial. Aku tidak pandai, tidak juga tampan, kebetulan saja Tuhan menyelundupkanku melalui rahim ibu. Dan di transmigrasikan ke bumi ini sebagai alat Tuhan. Sebagai alat agar sistem pentakdiran terus berjalan.

Kamis, 17 Oktober 2019

Dunia Hijau Dan Manis

"Bagaimana seutuhnya kita percaya sama para akademisi yang berdemo itu?" para demonstran yang masih berkedudukan sebagai pelajar, atau yang hanya ikut-ikutan, meramaikan suasana, atau hanya mengikuti ajakan teman, atau agar terlihat jantan dan seolah pemberani, tanpa tahu maksud dan tujuan yang di lakukan, memang tidak semua dari mereka semisal itu, tapi seharusnya sebelum mengambil tindakan apapun harus tahu tujuan dan resiko yang akan di dapatkan, jangan hanya memikirkan diri sendiri, karena kita juga memiliki keluarga, di mana mereka yang senantiasa merindukan kabar baik dari kita, bukan kabar buruk yang berupa celaka dan duka.

Mungkin kita merasa sanggup memikul beban, matipun tidak masalah, tapi belum tentu bagi orang yang kita tinggalkan, dan jangan juga mati dalam kekonyolan, meski ada tujuan yang ingin di sampaikan, sampaikan dengan jalan yang menghindari anarkis dan merusak fasilitas apapun, karena jikalau ada kerusakan fasilitas negara, sedikitpun pemerintah tidak rugi, melainkan yang rugi adalah orang tua kita, sebab PBB bisa di naikan untuk memperbaiki kerusakan yang terjadi, dunia sudah berubah, buat hal berbeda untuk menciptakan perubahan.

Karena perlawanan hanya akan menciptakan perlawanan berikutnya dan seterusnya berulang-ulang, tidak ada soal-soal yang benar-benar berakhir terkecuali suatu yang akhir hanyalah awal yang baru, bukan hanya keberanian melangkah dan memberi yang kita perlukan, melainkan juga keberanian menerima apapun yang terjadi, bukan melakukan apa yang kita nilai atau terlihat benar, tapi melakukan apa yang benar, sebab di dunia politik banyak orang melakukan hal benar dengan mengikuti orang yang salah. Dan jangan sampai perjuangan itu juga melampaui batas, di mana keinginan untuk membahagiakan sesama malah berujung petaka, dan yang semestinya kita perjuangkan malah menjadi korban atas ambisi kita, ambisi dan niat baik itu beda tipis, karenanya kita harus hati-hati dalam menata hati.

Memang benar bahwa kebijakan sekarang itu berlaku untuk rakyat, tapi tidak berlaku untuk si pembuat kebijakan, jikalau ingin mengubah kebijakan, berarti harus berjuang menjadi pembuat kebijakan. Dan kejadian itupun sudah sering terulang, di mana generasi-generasi dulu adalah juga segerombolan pemberontak, lalu setelah pendidikan formalnya berakhir, mencalonkan diri sebagai wakil rakyat, akhirnya juga sama saja. "Apakah di kira saat reformasi yang mengulingkan penguasa orba adalah mahasiswa?" Padahal penguasa yang kedudukannya jauh lebih tinggi, dan sekarang mahasiswa salah prediksi karena ingin mengulang hal yang sama. Tanpa dukungan atau di tunggangi sama penguasa yang kedudukannya jauh lebih tinggi, mahasiswa tidak akan mengubah amandemen apapun.

Sebesar apapun masanya, tanpa ada pembonceng, sulit! Tidak ada sejarah di negara manapun kekuasaan presiden di gulingkan oleh Mahasiswa, melainkan sama orang-orang terdekatnya sendiri yang di tunggangi penguasa yang kedudukannya jauh lebih tinggi, negara adikuasa yang memiliki kepentingan di dalamnya, dan pihak-pihak multinasional yang menginginkan sebuah keuntungan. Yah, semoga ujuk rasa saat ini bukan ego dan sarana unjuk gigi, melainkan plur benar-benar untuk rakyat. Tapi, yah, sulit untuk mengetahui bukti nyatanya. Jikalau sampai terjadi perusakan, cuma militer yang bisa menggulingkan kekuasaan, untung saja militer di larang berorganisasi.

Jikalau masanya cuma mahasiswa, yah, belum bisa di katakan genting. Kecuali di era reformasi yang turun ke jalankan bukan hanya mahasiswa, melainkan juga rakyat. Dan jika pemboncengnya hanya  sekelas mahasiswa, kupikir masih santui. Pemerintah kan juga anak-anak mahasiswa di jamannya. Mereka lebih pengalaman dan lebih paham dengan hal-hal seperti itu. Mereka juga punya kapasitas lebih besar, karena mereka adalah mahasiswa yang lebih dulu turun di jalan, mereka sudah mengantisipasi semuanya. Mata-mata mereka juga banyak, orang tua itu pasti lebih paham, semestinya anak muda cari jalan yang berbeda, jangan monoton, harus kreatif, tidak mengikuti cara-cara sebelumnya, biar tidak mudah di tebak dan di prediksi.

Dan siapapun yang mengeluhkan kesulitan-kesulitan hidup, padahal  belum pernah merasakan seperti apa sulit dan hetirnya mencari uang untuk bertahan hidup, jangan juga fanatik dengan materi, karena memang kita belum bisa melepaskan diri dari soal-soal itu,  Rakyat adalah profesor soal itu, karena yang lebih merasakan dampak langsung dari kebijakan politik dari sebuah negara, dan tidak seheboh itu, meski pun rakyat diam bukan berarti bodoh, melainkan mereka adalah singa yang sedang tertidur.

Revolusi memang akan selalu ada di sebuah bangsa, karena ketidakterimaan akan selalu ada untuk jiwa manusia, revolusi bisa menjadi penempa dan tenaga pendorong untuk kemajuan bangsa, karena peradaban berkembang dan memperoleh kemajuan hanya dari konflik, dalam konsentrasi ilmu politik revolusi adalah "Politikus tanpa memiliki mental politik hanya akan menjadi benalu buat bangsanya sendiri." Dalam filsafat revolusi adalah "Tidak menerima sesuatu yang jauh dari kesucian." Dan dalam berTuhan revolusi adalah" Bisa bercermin, memperbaiki diri dan berendah hati."

Iya, dunia itu hijau dan manis rasanya, tidak ada seorangpun yang bisa mengelak dari bujuk rayunya, siapapun akan tergiur buah yang bergelantungan di pohon peradaban, semakin hari peradaban semakin muda sebaliknya manusia semakin menua, dan tidak terasa tiba-tiba sudah tua, menanti binasa sambil merenungkan segala hal yang telah telewatkan dalam penyesalan.

Ada alkisah tiga kaum akhir zaman yang masuk ke dalam goa, di mana mereka mendengar tersiar kabar bahwa goa tersebut menyimpan apa yang mereka inginkan, lalu ketiganya mencoba masuk ke dalam goa dengan berbekalkan karung, sehabis berada di dalam mereka terdiam sejenak, sebab kegelapan berkuasa di atas mereka, mereka bertiga tidak bisa melihat apa-apa termasuk dirinya sendiri.

Mereka hanya meraba-raba menjadi si buta, tanpa tongkat petuntuk kecuali hanya melalui jamahan tangan mereka bisa merasakan, kaum pertama meraba dan yang dia rasa hanya batu lalu tidak mengambil apa-apa, kaum kedua sedikit berpikir, "sudah sampai ke dalam dengan susah payah, masak keluar tidak membawa apa-apa," lalu mengisi karungnya dengan batu itu hingga setengah karung, dan kaum ketiga males mikir langsung mengisi karungnya hingga penuh, karena tekadnya sebelum masuk sudah bulat mengambil apa saja yang berada di dalam goa sebanyak-banyaknya.

Ini hanya sebuah filosofi kehidupan, bahwa kehidupan sebagai fatamorgana yang menggiurkan segala rasa, terutama perihal ingin senantiasa memiliki dan takut sekali kehilangan, sehabis ketiga kaum itu keluar dari dalam goa, mereka melihat isi karung yang di bawanya, mereka semua kaget bukan kepalang, karena yang mereka anggap batu tidak tahunya emas murni, kaum pertama menyesal sebab tidak mengambil sama sekali, kaum kedua menyesal sebab hanya mengambil setengahnya saja, dan kaum ketiga menyesal sebab mengapa hanya mengambil satu karung, jika sebenarnya bisa lebih berkarung-karung.

Ada dua fersi: Pertama perihal amal ibadah, meski beramal sebanyak-banyaknya masih menyesal. "Mengapa tidak beramal lebih banyak lagi?" Apalagi yang tak beramal sama sekali.
Kedua perihal dunia: Meski bisa menguasai dunia, berjaya dan merajai apa saja, akan senantiasa kurang dan ingin terus menambah, hingga menyesali apa yang ia kumpulkan sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar