Kawan-kawan, jikalau dulu kita berpisah sebab sebuah perbedaan Ideologi, di mana aku selalu menginginkan nasionalis dan kalian menginginkan membesarkan kelompok dulu, memulai dari kelompok dahulu, dalam perbedaan ideologi ini akupun memahami tidak ada yang benar ataupun salah di antara kita semua, sebab kita berhak memilih jalan ideologi kita masing-masing, yang sesuai apa kata hati kita masing-masing, sesuai dengan pemahaman kita masing-masing, sesuai pandangan kita masing-masing, sesuai keyakinan kita masing-masing, dan sesuai dasar pemikiran kita masing-masing.
Mungkin kita pernah berbeda pendapat, hingga memunculkan kontradiksi hebat di antara kita, sebab kita memilih jalan yang berbeda, meski kita memiliki jurusan yang sama. Adakalanya di mana kita masih begitu muda, penuh gelora, kebanggaan, antusiasme, grusa grusu, ambisi yang tak terkendali dan tinggi hati. Kita menantang dunia dengan otot, amarah, ego, kebencian, seperti apa yang kita inginkan, gengsi dan semau kita sendiri. Tapi semakin jauh melangkah dan bertumbuh dewasa, seakan-akan kita di ajarkan untuk lebih menerima, memaafkan dan berendah hati, bahwa dunia tidak bisa di lawan, melainkan di akrabi.
Sebab berlaku buruk kepada orang baik itu adalah perbuatan buruk, berlaku buruk kepada seorang yang berbuat buruk itu menjadikan sama buruknya. Dan tetap berbuat baik kepada seorang yang berlaku buruk itu baru menakjubkan. Itulah kenyataan yang terjadi, itulah yang senantiasa kupelajari dari sejauh perjalananku ini, aku harus mulai mengubah cara berpikirku, mengubah cara bertindakku, dan mengubah jalan hidupku, sebab perjalananku yang nampak idealis ini tidak pernah mengubah hidupku, melainkan malah membuatku mati rasa di pelukkan cintaku sendiri, dari perjalanan ini aku harus banyak mengambil pelajaran, pelajaran apa yang bisa kuambil dari sejauhku melangkah, dan harus lebih banyak belajar lagi, lagi dan lagi. Di mana berusaha mengambil hikmah serta pelajaran dari sejarah dan kehidupan, dan yang kutemui hanyalah ikhwal dari kebodohanku sendiri.
Aku sadar bukan Nabi, oleh sebab itu akupun tidak boleh berlagak seperti Nabi, sok mencari petunjuk atau melangkah sesuai petunjuk ghaib, atau semisal wahyu yang di hadirkan melalui mimpi, tapi derajatku dengan Nabi sangatlah jauh berbeda, mungkin seorang Nabi bisa melangkah sesuai petunjuk yang di terimanya melalui mimpi, tapi aku tidak bisa melakukan hal itu, melainkan aku hanya seorang biasa yang semestinya melangkah dengan hal yang pasti-pasti saja. Aku bukan juga Bung Karno yang memang di karuniakan bakat untuk hal itu, seorang pemimpin besar revolusi, seorang diplomatis ulung, seorang singa podium, dan ahli di dunia politik, melainkan aku jelas bukanlah Bung Karno, dan tidak memiliki kepiawaian dan takdir sehebat Bung Karno.
Setelah sejauh ini aku melangkah, setelah kupelajari dalam-dalam, apalagi dalam kegagalan hidupku, "Mengapa aku tidak bisa memperoleh apa yang kuinginkan?" Sebab aku tidak tahu apa yang kuinginkan! Jikalau aku menginginkan bermimpi seperti seorang Bung Karno di masa sekarang, kurasa sangatlah mustahil, bukan hanya aku yang tidak memiliki karunia sebesar Bung Karno, tapi kurasa juga aku tidak akan pernah mampu menjadi seorang Soekarno, apalagi situasi politik sekarang sudah dalam tahap yang bahaya, bukan bangsa kita akan hancur, tapi kita sudah di hancurkan oleh penguasa yang jauh lebih tinggi kedudukannya melalui saudara sebangsa kita sendiri. Ketika seiring waktu kawan-kawan mulai tumbang ideologinya, akupun masih mempertahankan idealis, masih bertahan dalam idealis, meski harus melangkah bersendirian.
Lalu sampai waktunya tiba, idealiskupun juga mulai tumbang, sebab kita bukan lagi berhadapan dengan manusia ataupun malaikat, bahkan bukan juga Iblis yang sedang kita hadapi, meski musuh sebenarnya diri kita adalah diri kita sendiri, melainkan yang sedang kita hadapi adalah Tuhan, kita sedang di uji oleh Tuhan melalui berbagai cara, berbagai arah, berbagai jalan, berbagai pikiran dan niat, oleh sebab itu...khusus untuk diriku sendiri, bahwa jadi rakyat ataupun jadi pemimpin tidak perlu punya niat untuk memajukan bangsa, dan jika melihat bangsa kita tidak maju-maju nanti yang ada hanya akan marah-marah, tidak bisa menerima dan hanya kebencian yang mendekam di dalam dada. Dan nanti niat baik kita jadi hilang, sebab kita tidak bisa menjadi karang yang sanggup bertahan di tengah gelombang, terhantam dingin, tertikam hujan dan terpanggang matahari, melainkan yang terpenting kita berusaha sebaik mungkin menjadi manusia yang baik, melakukan hal semestinya sesuai kemampuan kita sebagai manusia, tetap humanis dan berusaha tetap melangkah di jalan yang benar.
Tidak ada pemerintahan yang benar-benar bersih, bukan sebab kurangnya orang baik, sebab orang baik sudah merasa tidak lagi mampu membersihkan kotoran yang terlanjur berserakan di mana-mana. Akhirnya orang baikpun hanya mengikuti kebijakan yang ada daripada harus menanggung resiko yang berdampak pada keberlangsungan hidupnya. Menjadi orang baik itu berat, dan kebanyakan orang tidak sanggup menanggung beratnya jadi orang baik, maka lebih banyak orang memilih menjadi orang yang pura-pura baik, atau lebih memilih untuk mengasingkan diri dari keramaian, atau akhirnya menjadi sama buruknya, sebab...di anggap tidak ada lagi pilihan lain, atau mengikuti saja alurnya, sebab merasa tidak bisa lagi berbuat apa-apa, bahkan banyak orang baik tidak ingin menjadi apapun, sebab mengurus diri sendiri jauh lebih penting daripada merasa lebih pintar dari orang lain, lalu berdirilah para pemimpin yang kurang cakap, di mana pemerintahan yang kotor bukan hanya mengotori bangsanya, melainkan juga meninggalkan kotoran kepada generasi penerusnya.
Aku juga tidak menampik jikalau Bung Karno pernah salah atau tidak selalu benar, sebab beliau bukanlah Tuhan yang mampu menghapus dosanya, memurnikan kembali kesalahannya dan mensucikan apa yang di nilai buruk, di mana Tuhan senantiasa murni, suci dan tak tersentuh dosa, melainkan hamba melakukan apa yang semestinya, apa yang perlu di lakukan, apa yang seharusnya, apa yang di wajibkan dan apa yang harus di lakukan. Melakukan sesuai kemampuannya sebagai manusia, ketika dalam meraih kemerdekaan, dan juga dalam mempertahankan sebuah kekuasaan akan melakukan apa yang harus di lakukan, atau siapapun akan di uji jauh lebih berat ketika berkuasa, tapi kukira masa orlam masih lebih baik daripada masa sekarang, di mana dalam meraih kekuasaan melakukan sebuah perjuangan secara jujur dan sungguh-sungguh.
Ada sebuah pepatah; "Jika kamu ingin melihat seseorang yang sebenarnya, beri dia kekuasaan." Dan sekarang kita bisa melihat dengan mata, mendengarkan dengan telinga kita dan bisa merasakan dengan hati, bahwa siapa yang berkuasa, siapa yang naik tahta menjadi penguasa seketika berubah drastis, ada yang pura-pura tidak kenal lagi dengan rakyatnya sendiri, ada yang pura-pura lupa dengan janjinya, ada yang berpaling ketika di panggil, ada yang tidak peduli lagi dengan apa yang terjadi, ada yang bersikap masa bodoh dengan keadaan, ada yang sulit sekali bergerak dan kebijakannya memihak, sebab merasa telah memiliki hutang jasa kepada beberapa pihak, ada yang omongannya plinplan sebab sebuah kepentingan, ada yang lebih mengutamakan siapa yang di anggapnya lebih menguntungkan, ada yang hanya pandai memainkan sandiwara demi perolehan aman, ada yang pandai berdandan tapi tidak pandai bercermin, malah ada juga yang menyihir rakyatnya dengan segudang cara, bahkan ada yang hanya kerjaannya pindah tidur, ada yang kerjaannya sebanding pengangguran tapi tiap bulan gajian, memperoleh tunjangan dan fasilitas lengkap, dan tanpa sadar bahwa dia yang menjadi penguasa, dia yang menulis sejarah bangsanya.
Bangsa kita pernah memasuki hari tersuram, tapi hari itu juga yang membuat seluruh perasaan menjadi satu, sebab jelas siapa yang harus di hadapi dan di perangi, melainkan hari ini tidak jelas lagi "siapa yang bisa di percaya. "Siapa yang pantas menerima kepercayaan?" meski bahasa, serupa dan sewarna tapi tak sama, semua berbondong-bondong ingin meraih kekuasaan dan menjadi penguasa, sebab di sanalah terletaknya rasa hormat, setelah rasa hormat itu di dapatkan, maka akan memikul tanggung jawab, setelah tanggung jawab itu di tinggalkan, lalu bertemulah dia dengan pertanggung jawaban. Semakin tinggi kedudukan yang dia dapatkan, semakin besar juga tanggung jawab yang dia pikul, semakin besar tanggung jawab yang dia pikul, semakin besar juga apa yang harus dia pertanggung jawabkan di hadapan Tuhan. Ada yang lebih bahaya dari minum-minuman keras, yaitu mabuk agama dan kekuasaan. Sebagaimana orang-orang musrik, munafik, fasik, egois, kapitalis, oportunis, hedonis, nepotis, dan kolonialis. Mereka memecah belah bangsanya menjadi beberapa golongan. Dan setelah itu mereka saling berbangga dengan golongannya.
Sehabis kemerdekaan Bung Karno menjadi Presiden dengan berwakilkan Bung Hatta, sebab telah memenangkan hati rakyat, di mana rakyat dan para pemuda saat itu sendiri yang memintanya, maka ideologi Nasionalis Bung Karnolah yang berdiri tegak di atas kekuatan bangsa ini, maka selain ideologi nasionalis harus rela mendekam di dasar kedalaman dada, hingga ideologi-ideologi yang berbeda yang ingin unjuk gigi di anggap melakukan perlawanan terhadap pemerintah, apalagi yang melakukan perlawanan secara terang-terangan, bahkan ingin mendirikan negara sendiri, termasuk komunis(Samoen, Muso, Tan Malaka dll) harus rela binasa, meski sesungguhnya Tan Malaka adalah korban salah paham, sebab ada pihak yang mengambil keputusan sendiri yang berpaling dari perintah Presiden, hingga mengakibatkan Tan Malaka terbunuh dan Bung Hatta marah besar saat itu. Darul Islam Indonesia yang di pimpin Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo yang menginginkan negara Islamis juga harus rela bubar dan Kartosuwiryo merenggang nyawa di hadapan senjata, meski saat itu sebenarnya Bung Karno tidak tega melihat Kartosuwiryo di tembak mati, sebab adalah temanya sendiri, teman sekosan, seperjuangan dan seguru, tapi kebijakan tetap harus di jalankan, dan juga Sultan Syahrir(Perdana Menteri Pertama) harus mengalami meninggal terpenjara Rumah di Swis, lalu Bung Hatta bercerai politik dengan Bung Karno.
Begitu juga sehabis Orlam memasuki Orba, masa-masa mencekam dan gelap bangsa ini belum berakhir, di mana kekuasaan sungguh menguji hati manusia, ketika peralihan kekuasaan tragedi berdarah tidak bisa terelakan, lebih dari 3 juta jiwa terbunuh tanpa jalur hukum, dan yang di anggap kiri semisal PKI, Gerwani, simpatisan hingga Soekarnois di tangkap tanpa pengadilan resmi. Ada yang nasibnya baik. Ada juga yang Nasibnya buruk dengan di siksa, di perkosa dan di tembak mati di tempat. Semisal Para jenderal, Amir Syarifudin, Subandrio, Untung, Nyoto, DN Aidit adalah korban dari kepentingan. Di mana penguasa yang jauh lebih tinggi memiliki ke pentingan besar di dalam bangsa ini, "Itu semua terjadi sebab apa?" Sebab adanya perkelahian Ideologi yang tidak bisa di lerai lagi, dan kepentingan-kepentingan tertentu yang mengambil keuntungan dari konflik itu.
Tidak berhenti sampai di situ saja, dari Orba memasuki Zaman Reformasi juga meminta banyak tumbal, di mana banyak aktivis yang hilang pulang tinggal nama. Semisal Wiji Tukul, Aan Rusdiyanto, Andy Arief, Faizol reza, Mugiyanto, Haryanto Taslam, Hendra Hambali, Ismail, M Yusuf, Yani Afri, Yadin Muhidin dll, dan kerusuhan masif di mana-di mana, hingga terakhir kejadian Munir, kejadian Tri Sakti hingga hampir terulang lagi di hari ini. "Sebab apa?" Sebab adanya perbedaan Ideologi, ada kepentingan di dalamnya, lebih meninggikan ego sendiri dan tidak memiliki kesadaran berbangsa, bahwa sebuah bangsa terbangun dari berbagai macam perasaan yang menjadi satu. Sekarang kalau kita tengok ke luar Negeri, "Mengapa Rohingna di babat habis?" Sebab adanya perbedaan Ideologi, ada kepentingan di dalamnya, lebih meninggikan ego sendiri dan tidak memiliki kesadaran berbangsa, bahwa sebuah bangsa terbangun dari berbagai macam perasaan yang menjadi satu. "Mengapa Israel dan Palestin berseteru terus menerus?" Sebab adanya perbedaan Ideologi, ada kepentingan di dalamnya, lebih meninggikan ego sendiri dan tidak memiliki kesadaran berbangsa, bahwa sebuah peradaban dunia yang di rindukan umat manusia hanya bisa di bangun dari berbagai macam perasaan bangsa-bangsa yang menjadi satu. "Mengapa Korut dan Amerika tak pernah akur?" Sebab adanya perbedaan Ideologi, ada kepentingan di dalamnya, lebih meninggikan ego sendiri dan tidak memiliki kesadaran berbangsa, bahwa sebuah peradaban dunia yang di rimdukan umat manusia hanya bisa di bangun dari berbagai macam perasaan yang menjadi satu. "Apa yang menimbulkan perang dingin?" Sebab adanya perbedaan Ideologi, ada kepentingan di dalamnya, lebih meninggikan ego sendiri dan tidak memiliki kesadaran berbangsa, bahwa sebuah bangsa atau peradapan dunia yang di rindukan umat manusia hanya bisa di bangun dari berbagai macam perasaan yang menjadi satu.
Kekuasaan selalu meminta tumbal, apalagi jika meraihnya dengan berbagai cara, di mana cara-cara yang di gunakan penuh dengan ego yang tinggi, di tambah lagi ada unsur kepentingan yang bersemayam di dalamnya, tidak bisa di pungkiri jika ada campur tangan dari pihak mutinasional yang masuk ke dalam ranah politik, maka apapun bisa di anggap sebagai lahan dagangan, di mana menanam modal di dalamnya demi peraihan hasil yang jauh lebih besar, pikirannya hanya menemukan tempat strategis untuk bisa mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya, meski ada yang harus ada yang menjadi korban, meski harus ada yang di korbankan, tidak peduli, lagi...lagi... dan lagi, sebab keuntungan jauh lebih penting daripada kemanusiaan, meski kebanyakan juga mengatasnamakan kemanusiaan demi perolehan keuntungan, dan siapa yang berkuasa, dia yang memengang kendali dari papan catur. Dan sekarang penguasa yang kita ketahui bukanlah penguasa yang sebenarnya, sebab telah di kendalikan oleh penguasa yang kedudukannya jauh lebih tinggi lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar