Mengenai Saya

Mahluk asing yang di trasmigrasikan dari surga. Dan di selundupkan ke bumi melalui rahim ibu. Terlahir dari kolaborasi cinta, sinergi kasih sayang. Dan tumbuh menjadi pelaku pelecehan media sosial. Aku tidak pandai, tidak juga tampan, kebetulan saja Tuhan menyelundupkanku melalui rahim ibu. Dan di transmigrasikan ke bumi ini sebagai alat Tuhan. Sebagai alat agar sistem pentakdiran terus berjalan.

Sabtu, 05 Oktober 2019

Diplomasi Rasa

Tidak selamanya dia benar, tapi dia terlahir memberikan jawaban atas segala penindasan, terutama penindasan atas segala rasa yang dia terima atau diam-diam merasuk ke dalam tubuhnya sendiri. Semisal kolonial rasa-rasa itu secepat kilat menjajah, ingin berkuasa dan berkuasa di dalam tubuhnya, di mana rasa-rasa negativitas itu ingin mengendalikan tubuhnya dengan terlebih dahulu membinasakan rasa-rasa positivitas yang bersemayam juga di dalam tubuhnya.

Di mana tubuh yang senantiasa memerlukan keseimbangan, agar setiap keputusan yang di ambil, tindakan yang di perlukan, langkah yang di lakukan dan karya yang di kerjakan bisa berjalan semestinya. Tapi, semua itu tidak sederhana, meski sederhana! Sebab tubuh adalah pemukiman berbagai rasa yang berbeda-beda, dan setiap rasa ingin menjadi penguasa di dalamnya.

Oleh sebab itu, seringkali rasa-rasa itu menjadi benalu bagi gerak tubuh, bahkan menjadi pertimpangan yang sungguh-sungguh, di mana semestinya tubuh bisa bergerak bebas, leluasa, flexible, lentur, dan tanpa beban yang signifikan,  malah menjadi kontradiksi mendalam yang membuat tubuh lamban bergerak, mandul ide, kaku beku, lemah berpikir, ketandusan daya imajinasi, krisis kebebasan berkarya atau bisa di kata kropos ke dalam.

Di mana hampir setiap saat rasa-rasa yang bermukim di tubuhnya saling bertikai, saling menghajar, saling tikam dan hantam, saling berkontradiksi mendalam, hingga ada rasa yang ingin memecah persatuan, membelah kesatuan dan menghancurkan kemerdekaan rasa positivitas yang tidak terwujud dalam tempo satu malam, kemerdekaan rasa positivitas yang di bangun berpondasikan jutaan mayat dari rasa positivitas lainnya yang berjuang hingga darah penghabisan.

Di mana rasa yang sangat berbahaya dari seluruh rasa yang lainnya, adalah rasa dengki, dendam, menjilat dan serakah yang tidak berkesudahan, tidak ada obat penyembuhnya, tidak ada penawarnya. Keempat rasa tersebut tidak bisa di sepelekan keberadaannya, sebab pemimpin para Malaikat sekaligus terjebak di dalamnya, hingga akhirnya sebagai penghuni neraka untuk selama-lamanya.

Sedangkan rasa dendam adalah rasa penghancur dari seluruh rasa, di mana seluruh rasa positivitas yang terbangun bertahun-tahunpun seketika bisa lenyap jika rasa dendam terus saja di tanam. Meskipun rasa dendam sendiri bisa di alih fungsikan menjadi tenaga pendorong untuk lebih maju, tenaga pembangkit yang baik, tenaga penggerak tercepat, dan tenaga terampuh untuk membangunkan mimpi yang terlalu lelap tertidur di tempat.

Rasa penjilat adalah rasa yang diam-diam mematikan dari dalam, bisa di kata pembunuh berdarah dingin, tidak terlihat tapi bisa di rasakan keberadaannya, tidak lagi menusuk hati melainkan langsung ke arah jantung, rasa penjilat adalah musuh sejati yang bersembunyi di balik rupa kebaikan, di mana kebaikan yang di tawarkan meminta imbalan besar, kebaikan yang di keluarkan hanya demi kepentingan, kebaikan yang di tampilkan hanya demi keuntungan-keuntungan, kebaikan yang tidak tulus.

Selanjutnya rasa serakah juga adalah rasa penghancur dari seluruh rasa, di mana rasa positivitas yang terbangun bertahun-tahunpun seketika bisa binasa jika rasa serakah terus saja di pelihara. Tidak berhenti di situ saja, rasa serakah juga bisa menghancurkan peradaban manusia, tatanan alam semesta, keseimbangan dari kehidupan, meruntuhkan kebudayaan yang bermartabat tinggi, kemulian berbangsa, kestabilan sebuah bangsa dan pastinya akan masuk neraka untuk selama-lamanya.

Dia memang seorang pemberontak, pembelot atau malah menjelma pahlawan bagi rasanya sendiri yang berbeda, dia seorang pemberontak teruntuk rasa malas, rasa rapuh, rasa sedih, rasa galau, rasa kecewa, rasa merasa, rasa marah, rasa terluka yang tidak ada obatnya, rasa merana, rasa dilema, rasa gagal, rasa terlantar, rasa terpuruk, rasa hancur, rasa lemah yang berkuasa atas tubuhnya.

Seorang pembelot teruntuk rasa ragu, rasa tak percaya diri, rasa benci, rasa dendam, rasa malu, rasa pengecut, rasa takut, rasa menyesal, rasa bersalah, rasa frustasi, rasa hasat, rasa dengki, rasa tinggi hati, rasa serakah, rasa ingin memiliki yang bukan haknya, rasa bingung, rasa bimbang, rasa plinplan, rasa tak tahan di hina, rasa tak tahan mendapat perlakuan berbeda, rasa tak tahan terhadap keadaan yang berkuasa atas dirinya.

Atau malah menjelma pahlawan bagi rasanya sendiri yang berbeda, menyadarkan semangat untuk bangkit dari segala bentuk keterpurukan dan penghisapan. Di mana bentuk pengisapan yang terjadi di dalam tubuhnya sendiri, sebab rasa-rasa negativitas yang tumbuh berkembang di dalam tubuhnya menjelma kapitalis yang tidak mengenal kompromi, atau malah mengajak dan menghasut rasa positivitas untuk membelot dari rasa sejati, rasa manusiawi dan rasa nurani.

Di mana juga mampu menyampaikan kebenaran dengan patriotik, menyala-nyala dan bercahaya, bak semisal orator profesional yang lihai memainkan perannya di atas panggung, dan juga canggih dalam memainkan aksinya di lapangan. Rasa yang mampu melakukan hal heroik yang patut di akui jempol, dalam aksinya mampu mengambil hati rasa-rasa positivitas lainnya, sekaligus membungkam dan membuat tidak berdaya rasa-rasa negativitas sebagai musuh bebuyutannya.

Sesuai dengan panggilan jiwanya, rasa positivitas berfungsi sebagai panutan dan tenaga penggerak terbaik bagi tubuh, guna membuka pintu gerbang kehidupan baru, kekuatan kehendak ingin maju, dan standarisasi yang pasti bisa menjadi kendaraan ke arah menuju kemajuan, tidak berhenti sampai di situ saja, melainkan juga bisa menuntun kepada kemerdekaan berpenampilan, berpikir,  berimajinasi, beribadah dan berkarya sebagai tempat yang ingin di tuju.

Rasa-rasa positivitas yang di peroleh dengan haru biru, di pupuk dengan iman tingkat tinggi dan di rawat dengan potensi setingkat dewa, atau bisa di kata dengan logika adalah mampu totalitas dalam melakukan segala yang di percayakan, meski hanya mendapatkan kesempatan yang murahan, sedikit dan kecil.

Jauh daripada itu, meski seluruh rasa terlihat berbeda-beda sejatinya berasal dari satu rasa, yaitu rasa cinta kasih yang terwujud dari sifat, sikap dan perbuatan Tuhan, di mana juga tubuh yang menjadi pemukiman berbagai rasa terpecah belah, sebab terbelah oleh rasa negativitas sebagai penjajah.

Setidaknya rasa positivitas adalah kunci jawaban dari ratusan tahun  pertanyaan, setidaknya adalah bukti cahaya yang mampu memusnahkan kegelapan, setidaknya adalah karunia semesta yang di janjikan Tuhan.

Di mana keberadaannya mampu menghapus air mata kesedihan, menghancurkan batu penderitaan dan berani mengulurkan tangan atas keluh kesah rasa yang berbasis kaum papa, rasa positivitas lainnya yang tertinggal, tertelantar, terasingkan dan termajinalkan di dalam tubuh.

Di mana kaum rasa positivitas yang teraniaya, kaum rasa minoritas yang tak berdaya, kaum rasa marjinal yang renta, yang tiada upadaya, lalu satu rasa positivitas yang bisa menjadi kunci utama, rasa positivitas yang bangkit menjadi senjata adalah alat yang telah menjadi tenaga yang berbakti pada tubuh kita.














Tidak ada komentar:

Posting Komentar