Kita adalah kelam,
Dunia kosong yang terisi malam,
Meski esok gulungan kabut sesal,
Atau mungkin sekarang terperangkap jarak,
Tidak ada yang lebih memikat dari bibirmu yang bergincu,
Seraut wajah yang belum pernah terjamah,
Apalah arti angkuh,
Kalau saja air mata masih sering mengaduh,
Janganlah menjadi momok untuk diri sendiri,
Karena tak ada yang lebih bernyali,
Dari jangkrik yang menguasi sunyi,
Ketika senyap semua rasa sama tersekap,
Tidak dengan jangkrik,
Suaranya malah melengking,
Meraung seperti singa,
Menghujam bengis tanpa enggan,
Terus menikam,
Tetap menghantam,
Tidak berhenti sebelum fajar kembali membuka pintu hati.
Dunia hanya tawa canda sekejab, sehabis itu lenyap.
Tidak ada yang lebih bertahan dari Tuhan,
Sedangkan tubuh yang terisi sementara udara,
Hanya pura-pura sanggup,
Hanya karena tidak ingin terlihat gugup,
Oh...
Pasang surut hati yang berselimut kemelut,
Tidak, tidak....
Bukan hati, tapi diri yang telah lama kehilangan peduli,
Sudah tidak lagi mengenali dirinya sendiri,
Bukan lagi dunia yang mengubahnya menjadi lain,
Karena memang itu hasrat dari hasil seludupan,
Diam-diam melirik, sehabis itu jungkir balik,
Berharap yang terbaik dari sekumpulan dusta,
Mengapa tidak sendari dulu? melupa masa lalu,
Sekarang, esok dan kemudian hanya tersisa tangisan,
dunia hanya sandiwara, sehabis itu kita kembali tiada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar